Dari Majalah Intim dan Surat Kabar Tegas
Setelah KAMI
mati, jiwa jurnalistik Alwi tidak ikut mati, tetap menggelora. Tahun
1972, bersama Mattulada, Rahman Arge, Husni Djamaluddin, dan Arsal
Alhabsi, dia mendirikan majalah Intim yang dibiayainya sendiri. Tahun
1978, Alwi diajak Syamsuddin DL bergabung dengan surat kabar Tegas
dengan jabatan Wakil Pemimpin Umum. Dia kemudian membeli mesin cetak
untuk mendukung penerbitan Tegas.
Karena ketidaksepahaman dengan
manajemen, dia memilih mundur meskipun telah banyak mengorbankan modal
pribadinya. Keluar dari
Tegas, Alwi berpikir untuk mendirikan surat kabar sendiri. Bersama
Harun Rasyid Djibe dan Sinansari Ecip, dia menerbitkan Fajar. Surat
izin dengan susah payah diraih dari Departemen Penerangan yang dipimpin
Harmoko.
Kantor Ahmad Yani:
Pertama
beroperasi pada 1981, Fajar mengontrak kantor di jalan Ahmad Yani nomor
15 Makassar, tepatnya di gedung kantor bekas percetakan dan toko buku
Druckey milik Belanda yang kemudian dinasionalisasi menjadi
percetakan Bhakti. Kantor Ahmad Yani sangat sederhana. Saking
sederhananya, WC-nya pun tidak ada.
Selanjutnya,
seiring perkembangan keredaksian, berdatanganlah wartawan-wartawan
lain: Baso Amir, Ismantoro, Rudy Harahap, Burhanuddin Bella, Ridwan
Effendy, dan lainnya. Ketika itu, mereka masih bekerja tanpa memikirkan
gaji yang diterima. Maklumlah, mereka semua masih berstatus mahasiswa
yang hidup ditanggung orang tua. Mereka juga berpikir: Fajar adalah
tempat belajar.
Reposisi dan Masa Sulit:
Dalam
perjalanannya, Harun Rasyid Djibe mengundurkan diri, begitu juga
Sinansari Ecip yang hijrah ke Jakarta untuk melanjutkan kuliah S3.
Selanjutnya, Alwi mengajak dua sahabatnya: Jusuf Kalla dan Aksa Mahmud.
Operasional Fajar kemudian diuntungkan dengan dipercayainya Jusuf
Kalla sebagai pengelola Percetakan Makassar milik Pemerintah Daerah
Makassar. Oleh Jusuf, percetakan tersebut kemudian diserahkan kepada
Alwi untuk dikelola dan dikembangkan.
Hingga 1988, Fajar
masih dalam masa sulit, rugi terus. Apalagi saat itu terdapat surat
kabar besar yang menguasai pasar: Pedoman Rakyat. Bahkan, Jusuf Kalla,
yang saat itu juga sedang mengembangkan NV Hadji Kalla, sering
mengeluh karena sudah banyak modal yang dia investasikan untuk
mengembangkan Fajar, tapi tetap merugi.
Kerja Sama Dengan Jawa Pos Grup
Langkah
strategis diambil pada akhir tahun 1988: Fajar bergabung dengan Jawa
Pos Grup yang dipimpin Dahlan Iskan. Saat itu, Dahlan memang ingin
membuka surat kabar di Makassar. Dahlan bertemu Alwi lewat perantara
Sinansari Ecip dan Eric Samola. Kerja sama ini mengangkat
semangat kerja para awak Fajar. Perbaikan dan perubahan dilakukan di
semua lini: administrasi, keuangan, dan redaksi. Komputer PC sederhana
tipe XT pun diadakan untuk semua meja wartawan. Tujuannya:
mempercepat proses pekerjaan. Para wartawan juga diberi kesempatan
secara bergilir untuk magang di Jawa Pos.
Walaupun kerja
sama dengan Jawa Pos berjalan progresif. Namun kesejahteraan karyawan
belum diperhatikan. Dampaknya, banyak wartawan potensial yang memilih
mengundurkan diri meskipun telah banyak mendapat ilmu dari Fajar,
semisal Abun Sanda yang hijrah ke Kompas (saat ini sudah menjabat
Wakil Pemimpin Umum Kompas). Saat itu banyak calon wartawan potensial yang
menolak masuk ke Fajar karena persoalan kesejahteraan.
Kantor Racing Centre:
Kerja
sama dengan Jawa Pos membuat oplah Fajar meningkat perlahan
tapi pasti, begitu juga iklannya, mulai mengalir deras. Peningkatan
ini membuat niat pindah kantor muncul. Saat itu kantor Ahmad Yani
dirasa sudah tidak bisa lagi mendukung perkembangan Fajar. Dan
memang Pemerintah Daerah Makassar sudah mau menjual gedung itu. Pilihan
lokasi gedung kantor baru jatuh di tanah milik Jusuf Kalla di jalan
Racing Centre Makassar.
Uang hasil oplah dan iklan dikumpulkan untuk
membangun gedung di atas tanah itu, tanpa bantuan kredit bank.
Hasilnya, pada 1991, gedung kantor Racing Centre diresmikan. Gedung
mewah 3 lantai dengan halaman yang cukup luas. Mesin
cetak baru juga diadakan untuk menambah kualitas surat kabar. Fajar
tampil berwarna. Oplah dan iklannya pun semakin bersinar. Fajar
kemudian berkembang pesat menjadi pemimpin utama pasar menyingkirkan
Pedoman Rakyat yang bangkrut. Kesejahteraan karyawan juga ikut
meningkat.
Surat kabar-surat kabar dalam dan luar daerah
Makassar mulai dikembangkan: Ujung Pandang Ekspres, Berita Kota
Makassar, Pare Pos, Palopo Pos, Kendari Pos, Radar Sulbar dan lainnya. Televisi dan
radio juga didirikan meskipun sinarnya belum sekilau surat kabar.
Fajar juga mengembangkan sayap ke bisnis nonmedia: universitas,
agrobisnis, transportasi, dan lainnya. Kantor Racing
Centre menjadi saksi bagaimana Fajar selama kurun waktu 16 tahun
(1991-2007) merangkak naik menjadi yang terbesar di luar pulau Jawa dan
pemimpin pasar di Indonesia Timur. Posisi tertinggi dalam level
bisnis surat kabar.
Kantor Graha Pena:
Trend
bisnis yang semakin berkembang, anak perusahaan yang semakin
menjamur, dan jumlah karyawan yang semakin banyak membuat keadaan
kantor Racing Centre dirasakan sudah tidak mampu lagi mengakomodasi
semuanya. Rencana membangun kantor yang lebih besar pun dicetuskan. Mengadopsi
model kantor milik Jawa Pos Group, Fajar membangun gedung kantor
Graha Pena di jalan Urip Sumoharjo nomor 20 Makassar.
Diresmikan pada
awal 2008, gedung Graha Pena dengan 20 lantai menjadi gedung tertinggi
pertama di luar pulau Jawa. Fungsinya bukan hanya sebagai kantor bagi
Fajar dan anak perusahaannya, tapi juga dipersewakan kepada khayalak
umum untuk ruang kantor maupun untuk pelbagai kegiatan. Kantor Racing
Centre kemudian menjadi Universitas Fajar atau Unifa. (nur)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar