Profil:
DAHLAN Iskan, lahir pada 17 Agustus 1951 di Magetan,
Jawa Timur. Ia memulai karier pers di Samarinda 1970-an. "Ayah saya
petani miskin. Ketika saya tamat SMA, ia tak sanggup lagi membiayai.
Maka, saya ikut kakak di Samarinda untuk kuliah," ceritanya. Dua tahun
di kampus IAIN Samarinda, ia merasa pengetahuannya tak bertambah. Lalu
ogah-ogahan kuliah dan lebih menyibukkan diri di koran kampus. Akhirnya
ia jadi wartawan sebuah koran lokal.
Sebuah lembaga swadaya
masyarakat, Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi
Sosial (LP3ES) mengikutkannya dalam program magang di Jakarta. "Dari
sekitar 6.000 peserta, dipilih 18. Di sana, pagi kami harus ikut teori
di LP3ES, sorenya magang di beberapa penerbitan. Saya ditempatkan di
majalah Tempo, diasuh langsung oleh Bur Rasuanto (ketika itu pemimpin
redaksi)," kisahnya. Di sini Dahlan berprestasi membuat laporan
eksklusif tentang larinya terpidana mati, Kusni Kasdut dari penjara
Cipinang.
Bur Rasuanto ternyata sangat menyukai Dahlan dan
menawarinya masuk Tempo.
Lantaran kontrak dengan LP3ES, ia harus kembali
ke daerah. Dahlan pun balik ke Samarinda sambil sesekali memberikan
kontribusi buat Tempo. Tak lama kemudian ternyata terjadi gejolak di
Tempo, 1976, yang mengakibatkan keluarnya Bur Rasuanto bersama beberapa
wartawan dan redaktur. Beberapa kontributor Tempo di daerah
mendukungnya. Bur bersama Imam Waloeyo dari majalah Prisma, Bunyamin
Wibisono dan Atmakusumah Astraatmadja dari Indonesia Raya, menyiapkan
Obor, sebuah majalah berita mingguan calon tandingan Tempo.
Dahlan
menyatakan siap bergabung, asal Bur bisa mendapatkan izin terbit majalah
itu. Tapi suasana politik 1977 terus memanas hingga 1978. Ada belasan
koran yang dibredel pemerintahan Soeharto. Cuma Tempo yang melembek
sehingga luput. Dahlan tetap bertahan di Tempo, kendati majalah itu
dipandang banci. Sementara izin Obor tak kunjung diperoleh. Ketika
sebuah kapal milik perusahaan Pelayaran Nasional Indonesia, Tampomas II
terbakar dan tenggelam dengan sekitar lima ribu penumpang terpanggang
hidup-hidup di perairan Masalembo, Laut Jawa, Dahlan meliput dan
menulisnya untuk laporan utama Tempo yang luar biasa bagus.
Dua edisi
berturut-turut sehingga ia dipromosikan jadi kepala biro Tempo Surabaya. Pada
1982, Tempo membeli koran Jawa Pos. Eric Samola, direktur utama PT
Grafiti Pers, penerbit Tempo, ngotot menunjuk Dahlan Iskan ketimbang
mengirim seorang redaktur, yang juga anggota pemegang saham Tempo, yang
lebih berpengalaman untuk mengelola Jawa Pos. Samola berpendapat
sebaiknya jangan ada orang Tempo dari Jakarta didrop ke Surabaya karena
tak ingin merendahkan orang daerah. Maklum, ketika itu ada pertentangan
politik antara pers nasional dan pers daerah.
Maka, Dahlan yang saat
itu sudah dikenal sebagai warga Surabaya, ditunjuk jadi nahkoda Jawa
Pos. Untuk pemasaran pun tidak diutus dari Jakarta, tapi ditunjuk kepala
sirkulasi Tempo Surabaya, Imam Soeroso (kini direktur PT Jawa Pos).
Keduanya dipandang oleh orang Tempo "sangat berani." Di sini mereka
memang jadi pemimpin, tapi masa depannya terbayang suram. Hanya Samola
yang optimis Jawa Pos bisa merebut pasar koran Surabaya yang saat itu
dikuasai harian Surabaya Post dan Kompas. "Surabaya Post terbit sore,
Kompas harus dikirim dari Jakarta. Kalau Jawa Pos diisi berita nasional
dari Jakarta, dan diedarkan pukul lima pagi, masa tidak bisa menang?"
begitu keyakinan Samola. (nur)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar