Masjid Al-Hilal Katangka
MASJID ini bernama Masjid Al-Hilal, satu dari sekian banyak jejak
penyebaran agama Islam di Sulawesi Selatan, khususnya di wilayah
Kesultanan Gowa. Kendati telah berusia empat abad, masjid ini masih
kokoh berdiri. Masjid Al Hilal terletak di Jl Syeh Yusuf,
Katangka, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, Indonesia. Jarak lokasi
sekitar 10 kilometer sebelah selatan pusat Kota Makassar (Lapangan
Karebosi).
Masjid Al Hilal lebih dikenal dengan nama Masjid
Katangka karena lokasinya yang berada di Katangka. Hilal (dalam
sistem lunar penanggalan Arab) berarti bulan muda di ufuk timur yang
menandai datangnya hari baru. Masjid Al Hilal berarti masjid yang
menengarai datangnya masa baru. Luasnya 174,24 meter persegi.
Pada zamannya, masjid ini termasuk besar, mewah, dan dianggap penting
karena konstruksinya terbuat dari batu bata. Hanya bangunan penting
yang dibuat dari batu bata saat itu, seperti istana dan benteng.
Fungsi
utamanya tentu sebagai tempat ibadah. Setiap datang waktu salat,
masjid ini ramai dipenuhi jamaah. Ada beberapa makam di
halaman masjid. Itu adalah makam para pemuka agama dan kerabat
pendiri masjid. Khusus makam para pendiri masjid memiliki atap di
atasnya berbentuk kubah. Salah satu yang mencirikan masjid ini
merupakan bangunan kuno adalah dindingnya. Dinding yang terbuat dari
batu bata itu cukup tebal, mencapai 120 sentimeter (cm). Ada
perpaduan unik dari dua kebudayaan pada masjid ini, arsitekturnya
memperlihatkan nuansa Jawa dan Cina.
Struktur atapnya mirip
bangunan joglo. Memiliki empat tiang penyangga yang dalam arsitektur
Jawa disebut soko guru. Hanya saja terbuat dari susunan batu, bukan
kayu. Terdapat dua lapis atap. Atap bagian atas berbentuk segi tiga
piramida dengan bahan dari genting. Masjid ini juga memiliki serambi
sebagaimana umumnya masjid di Jawa. Pengaruh kebudayaan Cina
terlihat pada atap mimbar yang mirip bentuk atap klenteng. Di sekitar
mimbar juga masih terpasang keramik dari Cina yang konon dibawa oleh
salah satu arsiteknya yang berasal dari sana.
Masjid Al Hilal
Katangka mudah diakses, dengan angkutan kota, taksi, maupun
fasilitas pengantaran hotel. Jika menggunakan angkutan kota, naik dari
Lapangan Karebosi jurusan Sungguminasa. Turun di batas kota
Makassar-Gowa, lalu sambung angkutan kota ke arah Jl Syeh Yusuf. (nur)
Kamis, 20 September 2012
Senin, 03 September 2012
Teologi Pembebasan Ali Syari'ati
Oleh: DR. Sabara, M.Fil.I.
Dari Teosentris Hingga Teomorphis.
Ali Syari'ati memulai pembahasannya tentang manusia dimulai dari filsafat penciptaan Adam. Dalam pandangan Syari'ati, Adam adalah simbol representatif dari manusia secara keseluruhan. Dalam menafsirkan penciptaan Adam, Syari'ati membahas kejadian Adam yang diciptakan dari Ruh Allah dan lumpur busuk. Kedua term tersebut dimaknai secara simbolik, Lumpur busuk bermakna kerendahan, stagnasi, dan pasivitas mutlak. Sedangkan Ruh Allah adalah simbol dari gerakan tanpa henti menuju kesempurnaan dan kemuliaan yang tidak terbatas.2
Manusia adalah sintesa dari kedua hal tersebut, dan kedua hal tersebut (lumpur busuk dan Ruh Allah)) senantiasa tarik menarik dan akhirnya akan memaksa manusia untuk memilih salah satunya.3
Pada masa awal penciptaannya manusia berada pada titik netral, dan seiring dengan perjalanan hidupnya manusia melakukan gerak evolusi, baik evolusi progresif menuju Ruh Allah maupun evolusi regresif menuju lumpur busuk. Jika manusia melakukan evolusi progresif maka manusia akan tiba pada kemuliaan dan kesempurnaannya yang hakiki ("bersatu denganNya"). Sedangkan jika yang terjadi adalah evolusi regresif maka manusia jatuh derajatnya dan hanya setara dengan lumpur busuk, yang dalam bahasa Alquran disebut lebih jelek dari binatang ternak.
Setelah Tuhan menciptakan Adam, kemudian Tuhan mengajarkan kepada Adam pengetahuan tentang "nama-nama" segala sesuatu. Jadi dalam penciptaan manusia, Tuhan adalah pencipta sekaligus sebagai guru pertama bagi manusia. Dan selanjutnya, manusia kemudian tampil sebagai pemberi nama bagi dunianya. Karena "perlakuan" Tuhan yang begitu istimewa kepada manusia, malaikat pun protes kepada tuhan, karena Tuhan telah mengistimewakan manusia. Menanggapi protes malaikat tersebut, Tuhan pun kemudian meminta Adam untuk mendemonstrasikan kemampuannya di hadapan para malaikat, lalu Tuhan menyuruh malaikat untuk sujud kepada Adam. Syari'ati menyatakan, sujudnya malaikat kepada Adam adalah perlambang dari humanisme. Derajat manusia diangkat sedemikian rupa setingkat lebih tinggi dari para malaikat suci. Ketinggian derajat manusia atas malaikat bukanlah karena rasialisme, melainkan karena manusia memiliki pengetahuan.4
Satu hal yang menarik dalam falsafah penciptaan manusia menurut Syari'ati, yaitu hanya manusia sajalah yang diberikan amanah oleh Tuhan untuk mengemban tugas sebagai khalifahNya. Oleh karena manusia memiliki kemampuan dan keyakinan untuk mengemban tugas berat tersebut. Maka terbuktilah bahwa manusia dianugerahi oleh Tuhan keberanian, keutamaan, kearifan dan kebijakan di alam semesta. Manusia bukan hanya sekedar sebagai khalifahNya, melainkan juga pengemban amanahNya, dan penjaga karuniaNya yang paling berharga. Beliau mengutip pernyataan Jalal al-Din al-Rumi, bahwa amanat dan karunia Tuhan itu adalah kehendak bebas.5
Syari'ati membagi manusia ke dalam dua kategori, yaitu insan dan basyar. Basyar adalah keberadaan manusia dalam tahap makhluk yang biasa (being), yang tak memiliki kemampuan berubah sebagaimana makhluk Tuhan yang lain. Basyar dalam istilah Alquran memiliki kesamaan arti dengan istilah l'etre en soi atau being in self (ada dalam diri) dalam filsafat eksistensialisme Jean Paul Sartre. Bering in self adalah modus keberadaan manusia yang statis, pasif, netral (tidak afirmatif dan tidak juga negatif), dan tanpa tujuan.6
L'etre en soi sebagaimana basyar adalah keberadaan manusia sebagai "seonggok" benda yang tak memiliki kesadaran dan kehendak bebas. Sedangkan insan adalah manusia dalam artian "menjadi" (becoming). Atau dengan kata lain insan adalah keberadaan manusia yang telah diberikan daya oleh kekuatan Ruh Ilahi, sehingga mampu bergerak dinamis.
Konsep insan dalam pemikiran Syari'ati identik dengan konsep l'etre pour soi atau being for self (ada untuk diri). L'etre pour soi adalah modus keberadaan manusia yang berbeda dengan l'etre en soi. L'etre pour soi adalah modus keberadaan manusia yang memiliki kesadaran akan diri dan realitas disekitarnya dan kehendak bebas dalam menentukan pilihannya, sehingga manusia dapat melakukan gerak aktif dan dinamis sebagai makhluk yang "menjadi". Pembagian Syari'ati terhadap dua kategori keberadaan manusia ini sangat mungkin diinspirasi oleh pemikiran eksistensialisme Jean paul Sartre. Namun, berbeda dengan Sartre, Ali Syari'ati gerak kemenjadian manusia memiliki tujuan yang jelas yaitu Allah sebagai sentrum dan modus eksistensi. Ali Syari'ati mengkritik Sartre dengan menyatakan moral eksistensialismenya dan konsekuensi-konsekuensinya yang menggelikan.7
Menurut Ali Syari'ati, manusia sempurna atau manusia ideal adalah khalifah Tuhan yang menerima amanah Tuhan berupa kesadaran diri, kehendak bebas, dan kreatifitas yang mewujud dalam diri manusia sebagai makhluk dua dimensi. Dengan adanya pertarungan dua unsur dalam diri manusia (Ruh Allah dan lumpur busuk) memungkinkan manusia untuk berproses menjadi manusia ideal (insan kamil). Karena dengan adanya potensi kesadaran, kehendak bebas, dan kreatifitas yang dimiliki manusia, memungkinkan bagi manusia untuk melakukan pertarungan "di dalam dirinya sendiri", dan berakhir dengan kemampuan manusia untuk memenangkan dimensi Ruh Allah atas unsur lumpur busuk, dengan berakhlak sebagaimana akhlak Allah.8
Manusia ideal adalah manusia theomorphis,9 yaitu manusia yang dalam pribadinya, ruh Allah telah memenangkan pertarungan atas belahan dirinya yang berkaitan dengan lumpur busuk, sebagai representasi Iblis. Manusia ideal, adalah manusia yang telah terbebas dari kebimbangan dan kontradiksi dari "dua infinita".10 Menurut Syari'ati manusia ideal, memiliki tiga ciri utama, yaitu kebenaran, kebaikan, dan keindahan. Dengan kata lain manusia ideal adalah manusia yang mampu memadukan secara integral pengetahuan, akhlak, dan seni dalam dirinya. Ia adalah khalifah Allah yang komitmen terhadap tiga anugerah Allah kepadanya, yaitu kesadaran diri, kehendak bebas, dan kreatifitas. Manusia ideal adalah khalifah Allah yang telah menempuh jalan penghambaan yang sukar sembari memikul beban amanah, hingga ia sampai ke ujung batas dan menjadi khalifah dan "pemegang amanahNya".11 Manusia theomorphis adalah manusia yang berakhlak sebagaimana akhlak Allah.
Manusia menjadi ideal bukan karena menjalin hubungan pribadi dengan Tuhan seraya mengesampingkan urusan kemanusiaan, dan bukan pula manusia yang menafikan Tuhan dalam gerak kehidupannya. Manusia menjadi sempurna, justru karena terlihat dalam perjuangan kesempurnaan umat manusia secara menyeluruh.12 Menurut Syari'ati, manusia menjadi ideal adalah dengan menemukan dan memperjuangkan umat manusia, dan dengannya ia akan "menemukan" Tuhan. Dengan kata lain manusia ideal adalah manusia yang tidak meninggalkan alam dan sesama manusia,13 sembari di saat yang sama ia terus melakukan "hubungan mesra" dengan Tuhan sebagai kekasihnya.
Syari'ati dengan sangat puitis mendeskripsikan mausia ideal tersebut sebagai manusia yang akalnya senantiasa berpikir filosofis, tapi hal ini tidak lantas membuatnya terlena atas nasib umat manusia. Keterlibatan politik tidak membuatnya demagog dan riya. Ilmu tidak membuat keyakinan dan cita-citanya menjadi luntur. Sedangkan keyakinannya tidak menumpulkan akalnya dan menghalangi deduksi logisnya. Kesalehan tidak membuatnya menjadi pertapa yang tak berdaya (asketik). Aktivitas sosial tidak membuat tangannya ternoda oleh immortalitas. Manusia ideal adalah manusia jihad dan ijtihad, manusia syair dan pedang, manusia kesepian dan komitmen. Emosi dan genius, kekuasaan dan cinta kasih, keyakinan dan pengetahuan. Dia adalah manusia yang menyatukan semua dimensi kemanusiaan sejati.14
Penggambaran Ali Syari'ati tersebut tentang sosok mansuia ideal nyaris mustahil ditemukan dalam realitas kemanusiaan saat ini yang penuh dengan kepalsuan. Tapi, jika kita kembali pada tujuan sejati penciptaan manusia maka kita akan meyakini secara pasti, disetiap masa pasti ada satu manusia yang dengan kesungguhannya berhasil meraih derajat mulia tersebut.
Khatimah
Ali
Syari'ati adalah sosok yang berhasil melakukan transformasi Tauhid,
hingga Tauhid menjadi pandangan yang dapat benar-benar hidup dan
menyentuh realitas.Ali Syari'ati memahami agama bukan sebagai kumpulan doktrin yang lebih berdimensi ritual saja. Menurutnya, agama adalah sumber lahirnya kesadaran (awareness), landasan etik (morality), tanggungjawab (responsibility) dan kehendak bebas (free will) yang mampu menggerakkan pemeluknya menjadi kekuatan pembebas dari determinasi ideologi-ideologi multitheism yang menindas. Bagi Ali Syari'ati Tauhid tak sekedar teologi yang diperbincangkan pada ranah keilmuan dan filsafat, tapi Tauhid adalah ideologi paripurna tentang integralisme kehidupan dari yang Satu, dalam kesatuan, menuju Yang Satu.
Bagi Syari'ati, Tauhid dimulai dari pemahaman yang ilmiah, filosofis, dan analitis tentang Tuhan menuju pada pembebasan kemanusiaan universal dari berhala diri dan berhala sosial. Tauhid adalah fondasi ideologi pembebasan yang menegasi segala bentuk diskriminasi menuju pada egalitarianisme (persamaan) manusia..Tauhid adalah spirit perlawanan atas kezaliman dan penindasan berdasar pada nilai-nilai keadilan. Dalam pandangan Ali Syari'ati, Tahid adalah pembebasan (liberasi), persamaan (egalitarianisne), dan keadilan (justice) universal.
Dalam pandangan Ali Syari'ati Tauhid adalah ephisentrum kehidupan dan modus eksistensi. Tauhid meniscayakan pandangan dunia yang teosentrik dengan orientasi menuntun manusia dalam gerak evolusi eksistensial menjadi manusia teomorphis, manusia yang mengatribusi sifat-sifat Ketuhanan. Manusia theomorphis, manusia yang kesadarannya menjulang tinggi ke langit, tapi baktinya menoreh aktivisme di bumi. Cita manusia ideal yang tampil sebagai pembebas. (IRIB Indonesia/PH)
Note: Saya terinspirasi membuka kembali pemikiran Ali Syari'ati yang pernah saya rasakan sebagai penyejuk ilmu waktu kuliah, saat miris melihat kaum Syiah di Sampang yang dizalimi di negeri sendiri,..
Jumat, 08 Juni 2012
Cara mengerem dengan ABS
|
Anti Lock Brake System atau ABS sudah dikenal di Indonesia sejak
tahun 1990-an. Jika dulu sistem ini hanya digunakan oleh mobil-mobil
premium, belakangan ini sudah hampir semua mobil kelas menengah
menerapkan sistim ini. Sayang banyak pemilik mobil yang menganggap bahwa
mobil yang telah dilengkapi ABS memiliki jarak pengereman lebih dekat,
sehingga pengemudi terlena dan enggan menginjak pedal rem lebih keras.
Selain itu, getaran di pedal rem saat ABS bekerja kerap membuat kaget
sehingga pengemudi langsung mengangkat kaki dari pedal rem. Hal ini
jelas berbahaya, karena rem menjadi tidak bekerja sama sekali. Pertama-tama kita harus tahu prinsip kerja ABS. Teknologi ini bekerja berdasarkan kemampuan traksi ban. Saat pengereman darurat, sensor di roda mendeteksi sesaat ban mulai terkunci. Kemudian secara otomatis, komputer memerintahkan piston di kaliper rem untuk melepaskan tekanannya agar ban berputar. Sesaat setelah melepas tekanan, rem bekerja kembali. Proses ini berlangsung sangat cepat dan hal inilah yang membuat getaran di pedal rem. ABS tidak memperpendek jarak pengereman, namun membuat mobil tetap dapat dikendalikan saat pengereman keras, karena ban masih memperoleh traksi, sehingga pengemudi dapat mengarahkan kendaraan ke posisi aman. Rem dengan ABS tidak efektif saat di jalan tanah atau gravel. Kerikil akan membuat sensor ABS mendeteksi ban tidak mendapat traksi sehingga piston di kaliper akan melepas tekanan lebih cepat. |
Selasa, 20 Maret 2012
Lima Kalimat Yang Harus Dihindari
M Nasrun Nur
Ketika pasangan suami istri bertengkar, maka segala caci maki bisa keluar. Saat itu, sifat asli dan sifat jelek masing-masing dari pasangan tampak secara nyata. Hal ini tentunya tidak sehat untuk satu pernikahan. Tapi ini adalah konflik dalam pernikahan. Berikut ini ada beberapa kalimat yang membuat pasangan menikah mengalami pertengkaran hebat, yang dikutip dari boldsky:
"Kamu hidup dari uang saya"
Dulu mungkin pria memang satu-satunya pemegang kendali keuangan karena pencari nafkah. Tapi di jaman sekarang ini, pria dan wanita sama-sama mencari nafkah dan tidak jarang kondisi ini menimbulkan pertengkaran hebat bila keduanya tidak bisa membahas soal keuangan mereka dengan baik.
"Ibumu ingin menyingkirkan saya"
Meskipun pernyataan ini umumnya disampaikan perempuan, tapi pria juga sangat sensitif urusan yang satu ini. Umumnya, setiap orang berusaha untuk dekat dan menempatkan diri dengan mertua mereka. Tapi ketika usaha itu sudah dilakukan tapi tidak berhasil juga, maka perasaan tidak diterima tetap ada.
"Kamu tidak cocok menjadi orangtua "
Jika dalam keseharian Anda dan pasangan tidak bisa saling menekan keegoisan dan selalu bertengkar, bahkan menuduh bahwa dia tidak cocok menjadi orangtua, itu adalah kesalahan yang sangat fatal. Karena ketika Anda bicara seperrti itu, maka Anda juga dianggap tidak layak menjadi orangtua.
"Kau beruntung menikah dengan aku"
Kadang ketika persoalan muncul, kerap keluar kalimat yang tidak perlu. Pernikahan adalah apa yang ingin Anda lakukan atas kesepakatan kedua belah pihak. Jadi, bukan hal bijaksana jika salah satu di antara Anda merasa paling baik daripada pasangan Anda.
"Katakan sekali lagi dan aku akan meninggalkanmu"
Anda bisa saja mengulang kata-kata tersebut sebanyak yang Anda mau, tapi itu hanya akan memperburuk keadaan. Semua akan disesali ketika salah satu dari Anda benar-benar melakukan hal tersebut. (*)
Ketika pasangan suami istri bertengkar, maka segala caci maki bisa keluar. Saat itu, sifat asli dan sifat jelek masing-masing dari pasangan tampak secara nyata. Hal ini tentunya tidak sehat untuk satu pernikahan. Tapi ini adalah konflik dalam pernikahan. Berikut ini ada beberapa kalimat yang membuat pasangan menikah mengalami pertengkaran hebat, yang dikutip dari boldsky:
"Kamu hidup dari uang saya"
Dulu mungkin pria memang satu-satunya pemegang kendali keuangan karena pencari nafkah. Tapi di jaman sekarang ini, pria dan wanita sama-sama mencari nafkah dan tidak jarang kondisi ini menimbulkan pertengkaran hebat bila keduanya tidak bisa membahas soal keuangan mereka dengan baik.
"Ibumu ingin menyingkirkan saya"
Meskipun pernyataan ini umumnya disampaikan perempuan, tapi pria juga sangat sensitif urusan yang satu ini. Umumnya, setiap orang berusaha untuk dekat dan menempatkan diri dengan mertua mereka. Tapi ketika usaha itu sudah dilakukan tapi tidak berhasil juga, maka perasaan tidak diterima tetap ada.
"Kamu tidak cocok menjadi orangtua "
Jika dalam keseharian Anda dan pasangan tidak bisa saling menekan keegoisan dan selalu bertengkar, bahkan menuduh bahwa dia tidak cocok menjadi orangtua, itu adalah kesalahan yang sangat fatal. Karena ketika Anda bicara seperrti itu, maka Anda juga dianggap tidak layak menjadi orangtua.
"Kau beruntung menikah dengan aku"
Kadang ketika persoalan muncul, kerap keluar kalimat yang tidak perlu. Pernikahan adalah apa yang ingin Anda lakukan atas kesepakatan kedua belah pihak. Jadi, bukan hal bijaksana jika salah satu di antara Anda merasa paling baik daripada pasangan Anda.
"Katakan sekali lagi dan aku akan meninggalkanmu"
Anda bisa saja mengulang kata-kata tersebut sebanyak yang Anda mau, tapi itu hanya akan memperburuk keadaan. Semua akan disesali ketika salah satu dari Anda benar-benar melakukan hal tersebut. (*)
Senin, 12 Maret 2012
Filosofi Lima Jari
M NASRUN NUR
Ibu Jari (jari pertama) menggambarkan kedua orangtua. Telunjuk (jari kedua) menggambarkan saudara kandung. Jari tengah (jari ketiga) menggambarkan diri kita sendiri. Jari manis (jari keempat) menggambarkan pasangan hidup kita. Dan kelingking (jari kelima) merepresentasikan anak-anak kita.
Sekarang, pertemukan kedua tangan kita satu sama lain dengan pasangan jarinya: ibu jari ketemu ibu jari, telunjuk ketemu telunjuk, dan seterusnya. Tapi, untuk jari tengah, pertemukan dengan cara berpunggung-punggungan.
Sekarang jika memisahkan kedua ibu jari yang menggambarkan kedua orangtua kita, kita mudah melakukannya. Filosofinya adalah orangtua kita tidak akan hidup dengan kita selama-lamanya. Begitupun saat mencoba memisahkan telunjuk, kita bisa melakukannya.
Artinya saudara-saudara kita pun akan berpisah karena mereka akan memiliki keluarga atau hidup masing-masing. Lalu kelingking pun sama. Kita bisa memisahkannya. Artinya anak-anak suatu saat kelak akan memisahkan diri dari kita karena tumbuh dewasa dan berkeluarga.
Akhirnya, coba pisahkan jari manis yang saling bertautan itu. Coba sekali lagi. Ternyata itu tak bisa kita lakukan. Sekuat apa pun kita melakukannya keduanya tetap bersatu.Seperti itulah pasangan hidup kita yang selalu bersama dalam suka dan duka, dalam keadaan kaya atau miskin, sehat atau sakit. Hanya kematian yang bisa memisahkan kita.
Itulah kenapa cincin kawin dipasang di jari manis sebagai penghargaan pada pasangan hidup kita yang akan mendampingi kita selama-lamanya. (*)
Selasa, 06 Maret 2012
Jumat, 24 Februari 2012
Mengintip Buttu Kabobong
Mengintip Celah Eksotik Buttu Kabobong
http://www.fajar.co.id/ read-20120211211427-mengintip-c elah-eksotik-buttu-kabobong
Rabu, 22 Februari 2012
Candi Borobudur
Candi Budha Terbesar di Abad ke-9
Naskah: Yunanto Wiji Utomo
SIAPA tak kenal Candi Borobudur? Candi Budha ini memiliki 1460 relief dan 504 stupa Budha di kompleksnya. Jutaan orang mendamba untuk mengunjungi bangunan yang termasuk dalam World Wonder Heritages ini. Tak mengherankan, sebab secara arsitektural maupun fungsinya sebagai tempat ibadah, Borobudur memang memikat hati. Borobudur dibangun oleh Raja Samaratungga, salah satu raja kerajaan Mataram Kuno, keturunan Wangsa Syailendra. Berdasarkan prasasti Kayumwungan, seorang Indonesia bernama Hudaya Kandahjaya mengungkapkan bahwa Borobudur adalah sebuah tempat ibadah yang selesai dibangun 26 Mei 824, hampir seratus tahun sejak masa awal dibangun.
Nama Borobudur sendiri menurut beberapa orang berarti sebuah gunung yang berteras-teras (budhara), sementara beberapa yang lain mengatakan Borobudur berarti biara yang terletak di tempat tinggi. Bangunan Borobudur berbentuk punden berundak terdiri dari 10 tingkat. Tingginya 42 meter sebelum direnovasi dan 34,5 meter setelah direnovasi karena tingkat paling bawah digunakan sebagai penahan. Enam tingkat paling bawah berbentuk bujur sangkar dan tiga tingkat di atasnya berbentuk lingkaran dan satu tingkat tertinggi yang berupa stupa Budha yang menghadap ke arah barat. Setiap tingkatan melambangkan tahapan kehidupan manusia. Sesuai mahzab Budha Mahayana, setiap orang yang ingin mencapai tingkat sebagai Budha mesti melalui setiap tingkatan kehidupan tersebut.
Bagian dasar Borobudur, disebut Kamadhatu, melambangkan manusia yang masih terikat nafsu. Empat tingkat di atasnya disebut Rupadhatu melambangkan manusia yang telah dapat membebaskan diri dari nafsu namun masih terikat rupa dan bentuk. Pada tingkat tersebut, patung Budha diletakkan terbuka. Sementara, tiga tingkat di atasnya dimana Budha diletakkan di dalam stupa yang berlubang-lubang disebut Arupadhatu, melambangkan manusia yang telah terbebas dari nafsu, rupa, dan bentuk. Bagian paling atas yang disebut Arupa melambangkan nirwana, tempat Budha bersemayam.
Setiap tingkatan memiliki relief-relief indah yang menunjukkan betapa mahir pembuatnya. Relief itu akan terbaca secara runtut bila anda berjalan searah jarum jam (arah kiri dari pintu masuk candi). Pada reliefnya Borobudur bercerita tentang suatu kisah yang sangat melegenda, yaitu Ramayana. Selain itu, terdapat pula relief yang menggambarkan kondisi masyarakat saat itu. Misalnya, relief tentang aktivitas petani yang mencerminkan tentang kemajuan sistem pertanian saat itu dan relief kapal layar merupakan representasi dari kemajuan pelayaran yang waktu itu berpusat di Bergotta (Semarang).
Keseluruhan relief yang ada di candi Borobudur mencerminkan ajaran sang Budha. Karenanya, candi ini dapat dijadikan media edukasi bagi orang-orang yang ingin mempelajari ajaran Budha. YogYES mengajak anda untuk mengelilingi setiap lorong-lorong sempit di Borobudur agar dapat mengerti filosofi agama Budha. Atisha, seorang budhis asal India pada abad ke 10, pernah berkunjung ke candi yang dibangun 3 abad sebelum Angkor Wat di Kamboja dan 4 abad sebelum Katedral Agung di Eropa ini. Berkat mengunjungi Borobudur dan berbekal naskah ajaran Budha dari Serlingpa (salah satu raja Kerajaan Sriwijaya), Atisha mampu mengembangkan ajaran Budha.
Ia menjadi kepala biara Vikramasila dan mengajari orang Tibet tentang cara mempraktekkan Dharma. Enam naskah dari Serlingpa pun diringkas menjadi sebuah inti ajaran disebut "The Lamp for the Path to Enlightenment" atau yang lebih dikenal dengan nama Bodhipathapradipa. Salah satu pertanyaan yang kini belum terjawab tentang Borobudur adalah bagaimana kondisi sekitar candi ketika dibangun dan mengapa candi itu ditemukan dalam keadaan terkubur. Beberapa mengatakan Borobudur awalnya berdiri dikitari rawa kemudian terpendam karena letusan Merapi. Dasarnya adalah prasasti Kalkutta bertuliskan 'Amawa' berarti lautan susu. Kata itu yang kemudian diartikan sebagai lahar Merapi.
Beberapa yang lain mengatakan Borobudur tertimbun lahar dingin Merapi. Dengan segala kehebatan dan misteri yang ada, wajar bila banyak orang dari segala penjru dunia memasukkan Borobudur sebagai tempat yang harus dikunjungi dalam hidupnya. Selain menikmati candinya, anda juga bisa berkeliling ke desa-desa sekitar Borobudur, seperti Karanganyar dan Wanurejo untuk melihat aktivitas warga membuat kerajinan. Anda juga bisa pergi ke puncak watu Kendil untuk dapat memandang panorama Borobudur dari atas. Tunggu apa lagi? Tak perlu khawatir gempa 27 Mei 2006, karena Borobudur tidak terkena dampaknya sama sekali. (nur)
Sejarah FAJAR
Dari Majalah Intim dan Surat Kabar Tegas
Setelah KAMI mati, jiwa jurnalistik Alwi tidak ikut mati, tetap menggelora. Tahun 1972, bersama Mattulada, Rahman Arge, Husni Djamaluddin, dan Arsal Alhabsi, dia mendirikan majalah Intim yang dibiayainya sendiri. Tahun 1978, Alwi diajak Syamsuddin DL bergabung dengan surat kabar Tegas dengan jabatan Wakil Pemimpin Umum. Dia kemudian membeli mesin cetak untuk mendukung penerbitan Tegas.
Karena ketidaksepahaman dengan manajemen, dia memilih mundur meskipun telah banyak mengorbankan modal pribadinya. Keluar dari Tegas, Alwi berpikir untuk mendirikan surat kabar sendiri. Bersama Harun Rasyid Djibe dan Sinansari Ecip, dia menerbitkan Fajar. Surat izin dengan susah payah diraih dari Departemen Penerangan yang dipimpin Harmoko.
Kantor Ahmad Yani:
Pertama beroperasi pada 1981, Fajar mengontrak kantor di jalan Ahmad Yani nomor 15 Makassar, tepatnya di gedung kantor bekas percetakan dan toko buku Druckey milik Belanda yang kemudian dinasionalisasi menjadi percetakan Bhakti. Kantor Ahmad Yani sangat sederhana. Saking sederhananya, WC-nya pun tidak ada.
Selanjutnya, seiring perkembangan keredaksian, berdatanganlah wartawan-wartawan lain: Baso Amir, Ismantoro, Rudy Harahap, Burhanuddin Bella, Ridwan Effendy, dan lainnya. Ketika itu, mereka masih bekerja tanpa memikirkan gaji yang diterima. Maklumlah, mereka semua masih berstatus mahasiswa yang hidup ditanggung orang tua. Mereka juga berpikir: Fajar adalah tempat belajar.
Reposisi dan Masa Sulit:
Dalam perjalanannya, Harun Rasyid Djibe mengundurkan diri, begitu juga Sinansari Ecip yang hijrah ke Jakarta untuk melanjutkan kuliah S3. Selanjutnya, Alwi mengajak dua sahabatnya: Jusuf Kalla dan Aksa Mahmud. Operasional Fajar kemudian diuntungkan dengan dipercayainya Jusuf Kalla sebagai pengelola Percetakan Makassar milik Pemerintah Daerah Makassar. Oleh Jusuf, percetakan tersebut kemudian diserahkan kepada Alwi untuk dikelola dan dikembangkan.
Hingga 1988, Fajar masih dalam masa sulit, rugi terus. Apalagi saat itu terdapat surat kabar besar yang menguasai pasar: Pedoman Rakyat. Bahkan, Jusuf Kalla, yang saat itu juga sedang mengembangkan NV Hadji Kalla, sering mengeluh karena sudah banyak modal yang dia investasikan untuk mengembangkan Fajar, tapi tetap merugi.
Kerja Sama Dengan Jawa Pos Grup
Langkah strategis diambil pada akhir tahun 1988: Fajar bergabung dengan Jawa Pos Grup yang dipimpin Dahlan Iskan. Saat itu, Dahlan memang ingin membuka surat kabar di Makassar. Dahlan bertemu Alwi lewat perantara Sinansari Ecip dan Eric Samola. Kerja sama ini mengangkat semangat kerja para awak Fajar. Perbaikan dan perubahan dilakukan di semua lini: administrasi, keuangan, dan redaksi. Komputer PC sederhana tipe XT pun diadakan untuk semua meja wartawan. Tujuannya: mempercepat proses pekerjaan. Para wartawan juga diberi kesempatan secara bergilir untuk magang di Jawa Pos.
Walaupun kerja sama dengan Jawa Pos berjalan progresif. Namun kesejahteraan karyawan belum diperhatikan. Dampaknya, banyak wartawan potensial yang memilih mengundurkan diri meskipun telah banyak mendapat ilmu dari Fajar, semisal Abun Sanda yang hijrah ke Kompas (saat ini sudah menjabat Wakil Pemimpin Umum Kompas). Saat itu banyak calon wartawan potensial yang menolak masuk ke Fajar karena persoalan kesejahteraan.
Kantor Racing Centre:
Kerja sama dengan Jawa Pos membuat oplah Fajar meningkat perlahan tapi pasti, begitu juga iklannya, mulai mengalir deras. Peningkatan ini membuat niat pindah kantor muncul. Saat itu kantor Ahmad Yani dirasa sudah tidak bisa lagi mendukung perkembangan Fajar. Dan memang Pemerintah Daerah Makassar sudah mau menjual gedung itu. Pilihan lokasi gedung kantor baru jatuh di tanah milik Jusuf Kalla di jalan Racing Centre Makassar.
Uang hasil oplah dan iklan dikumpulkan untuk membangun gedung di atas tanah itu, tanpa bantuan kredit bank. Hasilnya, pada 1991, gedung kantor Racing Centre diresmikan. Gedung mewah 3 lantai dengan halaman yang cukup luas. Mesin cetak baru juga diadakan untuk menambah kualitas surat kabar. Fajar tampil berwarna. Oplah dan iklannya pun semakin bersinar. Fajar kemudian berkembang pesat menjadi pemimpin utama pasar menyingkirkan Pedoman Rakyat yang bangkrut. Kesejahteraan karyawan juga ikut meningkat.
Surat kabar-surat kabar dalam dan luar daerah Makassar mulai dikembangkan: Ujung Pandang Ekspres, Berita Kota Makassar, Pare Pos, Palopo Pos, Kendari Pos, Radar Sulbar dan lainnya. Televisi dan radio juga didirikan meskipun sinarnya belum sekilau surat kabar. Fajar juga mengembangkan sayap ke bisnis nonmedia: universitas, agrobisnis, transportasi, dan lainnya. Kantor Racing Centre menjadi saksi bagaimana Fajar selama kurun waktu 16 tahun (1991-2007) merangkak naik menjadi yang terbesar di luar pulau Jawa dan pemimpin pasar di Indonesia Timur. Posisi tertinggi dalam level bisnis surat kabar.
Kantor Graha Pena:
Trend bisnis yang semakin berkembang, anak perusahaan yang semakin menjamur, dan jumlah karyawan yang semakin banyak membuat keadaan kantor Racing Centre dirasakan sudah tidak mampu lagi mengakomodasi semuanya. Rencana membangun kantor yang lebih besar pun dicetuskan. Mengadopsi model kantor milik Jawa Pos Group, Fajar membangun gedung kantor Graha Pena di jalan Urip Sumoharjo nomor 20 Makassar.
Diresmikan pada awal 2008, gedung Graha Pena dengan 20 lantai menjadi gedung tertinggi pertama di luar pulau Jawa. Fungsinya bukan hanya sebagai kantor bagi Fajar dan anak perusahaannya, tapi juga dipersewakan kepada khayalak umum untuk ruang kantor maupun untuk pelbagai kegiatan. Kantor Racing Centre kemudian menjadi Universitas Fajar atau Unifa. (nur)
Setelah KAMI mati, jiwa jurnalistik Alwi tidak ikut mati, tetap menggelora. Tahun 1972, bersama Mattulada, Rahman Arge, Husni Djamaluddin, dan Arsal Alhabsi, dia mendirikan majalah Intim yang dibiayainya sendiri. Tahun 1978, Alwi diajak Syamsuddin DL bergabung dengan surat kabar Tegas dengan jabatan Wakil Pemimpin Umum. Dia kemudian membeli mesin cetak untuk mendukung penerbitan Tegas.
Karena ketidaksepahaman dengan manajemen, dia memilih mundur meskipun telah banyak mengorbankan modal pribadinya. Keluar dari Tegas, Alwi berpikir untuk mendirikan surat kabar sendiri. Bersama Harun Rasyid Djibe dan Sinansari Ecip, dia menerbitkan Fajar. Surat izin dengan susah payah diraih dari Departemen Penerangan yang dipimpin Harmoko.
Kantor Ahmad Yani:
Pertama beroperasi pada 1981, Fajar mengontrak kantor di jalan Ahmad Yani nomor 15 Makassar, tepatnya di gedung kantor bekas percetakan dan toko buku Druckey milik Belanda yang kemudian dinasionalisasi menjadi percetakan Bhakti. Kantor Ahmad Yani sangat sederhana. Saking sederhananya, WC-nya pun tidak ada.
Selanjutnya, seiring perkembangan keredaksian, berdatanganlah wartawan-wartawan lain: Baso Amir, Ismantoro, Rudy Harahap, Burhanuddin Bella, Ridwan Effendy, dan lainnya. Ketika itu, mereka masih bekerja tanpa memikirkan gaji yang diterima. Maklumlah, mereka semua masih berstatus mahasiswa yang hidup ditanggung orang tua. Mereka juga berpikir: Fajar adalah tempat belajar.
Reposisi dan Masa Sulit:
Dalam perjalanannya, Harun Rasyid Djibe mengundurkan diri, begitu juga Sinansari Ecip yang hijrah ke Jakarta untuk melanjutkan kuliah S3. Selanjutnya, Alwi mengajak dua sahabatnya: Jusuf Kalla dan Aksa Mahmud. Operasional Fajar kemudian diuntungkan dengan dipercayainya Jusuf Kalla sebagai pengelola Percetakan Makassar milik Pemerintah Daerah Makassar. Oleh Jusuf, percetakan tersebut kemudian diserahkan kepada Alwi untuk dikelola dan dikembangkan.
Hingga 1988, Fajar masih dalam masa sulit, rugi terus. Apalagi saat itu terdapat surat kabar besar yang menguasai pasar: Pedoman Rakyat. Bahkan, Jusuf Kalla, yang saat itu juga sedang mengembangkan NV Hadji Kalla, sering mengeluh karena sudah banyak modal yang dia investasikan untuk mengembangkan Fajar, tapi tetap merugi.
Kerja Sama Dengan Jawa Pos Grup
Langkah strategis diambil pada akhir tahun 1988: Fajar bergabung dengan Jawa Pos Grup yang dipimpin Dahlan Iskan. Saat itu, Dahlan memang ingin membuka surat kabar di Makassar. Dahlan bertemu Alwi lewat perantara Sinansari Ecip dan Eric Samola. Kerja sama ini mengangkat semangat kerja para awak Fajar. Perbaikan dan perubahan dilakukan di semua lini: administrasi, keuangan, dan redaksi. Komputer PC sederhana tipe XT pun diadakan untuk semua meja wartawan. Tujuannya: mempercepat proses pekerjaan. Para wartawan juga diberi kesempatan secara bergilir untuk magang di Jawa Pos.
Walaupun kerja sama dengan Jawa Pos berjalan progresif. Namun kesejahteraan karyawan belum diperhatikan. Dampaknya, banyak wartawan potensial yang memilih mengundurkan diri meskipun telah banyak mendapat ilmu dari Fajar, semisal Abun Sanda yang hijrah ke Kompas (saat ini sudah menjabat Wakil Pemimpin Umum Kompas). Saat itu banyak calon wartawan potensial yang menolak masuk ke Fajar karena persoalan kesejahteraan.
Kantor Racing Centre:
Kerja sama dengan Jawa Pos membuat oplah Fajar meningkat perlahan tapi pasti, begitu juga iklannya, mulai mengalir deras. Peningkatan ini membuat niat pindah kantor muncul. Saat itu kantor Ahmad Yani dirasa sudah tidak bisa lagi mendukung perkembangan Fajar. Dan memang Pemerintah Daerah Makassar sudah mau menjual gedung itu. Pilihan lokasi gedung kantor baru jatuh di tanah milik Jusuf Kalla di jalan Racing Centre Makassar.
Uang hasil oplah dan iklan dikumpulkan untuk membangun gedung di atas tanah itu, tanpa bantuan kredit bank. Hasilnya, pada 1991, gedung kantor Racing Centre diresmikan. Gedung mewah 3 lantai dengan halaman yang cukup luas. Mesin cetak baru juga diadakan untuk menambah kualitas surat kabar. Fajar tampil berwarna. Oplah dan iklannya pun semakin bersinar. Fajar kemudian berkembang pesat menjadi pemimpin utama pasar menyingkirkan Pedoman Rakyat yang bangkrut. Kesejahteraan karyawan juga ikut meningkat.
Surat kabar-surat kabar dalam dan luar daerah Makassar mulai dikembangkan: Ujung Pandang Ekspres, Berita Kota Makassar, Pare Pos, Palopo Pos, Kendari Pos, Radar Sulbar dan lainnya. Televisi dan radio juga didirikan meskipun sinarnya belum sekilau surat kabar. Fajar juga mengembangkan sayap ke bisnis nonmedia: universitas, agrobisnis, transportasi, dan lainnya. Kantor Racing Centre menjadi saksi bagaimana Fajar selama kurun waktu 16 tahun (1991-2007) merangkak naik menjadi yang terbesar di luar pulau Jawa dan pemimpin pasar di Indonesia Timur. Posisi tertinggi dalam level bisnis surat kabar.
Kantor Graha Pena:
Trend bisnis yang semakin berkembang, anak perusahaan yang semakin menjamur, dan jumlah karyawan yang semakin banyak membuat keadaan kantor Racing Centre dirasakan sudah tidak mampu lagi mengakomodasi semuanya. Rencana membangun kantor yang lebih besar pun dicetuskan. Mengadopsi model kantor milik Jawa Pos Group, Fajar membangun gedung kantor Graha Pena di jalan Urip Sumoharjo nomor 20 Makassar.
Diresmikan pada awal 2008, gedung Graha Pena dengan 20 lantai menjadi gedung tertinggi pertama di luar pulau Jawa. Fungsinya bukan hanya sebagai kantor bagi Fajar dan anak perusahaannya, tapi juga dipersewakan kepada khayalak umum untuk ruang kantor maupun untuk pelbagai kegiatan. Kantor Racing Centre kemudian menjadi Universitas Fajar atau Unifa. (nur)
Senin, 20 Februari 2012
Kapal Induk Jawa Pos
Tahun 2000 Miliki Delapan Armada
DALAM buku Jawa Pos Koran Kita yang diterbitkan 1 Januari tahun 2000, disebutkan kelompok Jawa Pos ada sebanyak 67 koran dan tabloid. Mereka tergabung dalam delapan armada yang disebut "kapal induk". Delapan armada itu masing-masing: Jawa Pos (Jawa Timur dan Jawa Tengah hingga Nusa Tenggara) dengan pangkalan Surabaya; Riau Pos (Riau, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat) dengan pangkalan Pekanbaru dan Sumatera Ekspres (Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung) dengan pangkalan Palembang.
Selanjutnya Rakyat Merdeka (Jakarta, Jawa Barat, dan sebagian Jawa Tengah) di Jakarta; Akcaya (Kalimantan Barat) di Pontianak; armada Manuntung (Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Tengah, dan Sulawesi Tengah) di Balikpapan; kelompok Fajar di Sulawesi Selatan dan Maluku, serta armada Manado Post (Sulawesi Utara, Halmahera, Papua Barat) dengan pangkalan Manado.
Jawa Pos biasanya hanya menempatkan satu "kuda andalan" dari Surabaya untuk memimpin setiap koran daerah yang mau bersanding.
Itu dilakukan Dahlan pada Manuntung (kini Kaltim Post) dengan menempatkan Zaenal Muttaqien ke Balikpapan. Kuda yang lain, Surya Aka, mulai kariernya sebagai koresponden di Madiun, lalu jadi sampai koordinator liputan di kantor Jawa Pos Surabaya, dan akhirnya dikirim ke Akcaya Pontianak. Sukses mengembangkan Akcaya, Surya Aka ditarik lagi ke pusat untuk mempertajam beberapa tabloid di Surabaya.
Masuknya Jawa Pos ke Sumatera Utara dimulai Dahlan dengan merekrut rekannya, mantan koresponden Tempo Rida K. Liamsi. Ini nama samaran yang dibalik dari Ismail Kadir. Sewaktu jadi koresponden Tempo, ia guru sekolah dasar sehingga perlu menyamarkan diri jadi wartawan. Rida toh melepaskan pekerjaan guru dan terus jadi wartawan. Karena lebih tertarik pada koran harian, pada 1983 Rida pindah ke Suara Karya. Sekali waktu di tahun 1989, ia ingin mewawancarai Dahlan Iskan tentang Persebaya. Dijawab Dahlan, "Sialan. You bantu saya saja, bikin koran Riau Pos!"
Rida, putra asli Riau, ternyata merasa cocok dengan manajemen ala Dahlan Iskan dan ia bisa menyalurkan keinginan Dahlan di koran Riau Pos bersama pemilik lama harian itu. Dengan oplah 35 ribu, Riau Pos setiap bulan mempunyai omset Rp 1,8 miliar sehingga mengungguli kapal-kapal induk lain: Fajar, Manuntung, Manado Post, Sumatera Ekspres dan Akcaya. Sewaktu saya berkunjung ke Pekanbaru, akhir Maret lalu, saya mendapati Riau Pos memiliki kantor megah berlantai dua, lengkap dengan mobil operasional untuk redaksi dan pemasaran juga sebuah Nissan Terano untuk Rida.
"Ini biasa dipakai Dahlan kalau mau ke Padang. Kita biasanya enam sampai tujuh jam, tapi kalau Dahlan yang setir, cuma lima jam," Rida membanggakan Dahlan. Di belakang gedung Riau Pos, terlihat suatu menara antena stasiun televisi sedang dibangun. Ternyata Rida sedang merintis lahirnya sebuah stasiun televisi swasta lokal pertama di Indonesia yang khusus disiarkan hanya untuk provinsi Riau. "Investasinya kecil-kecilan, cuma Rp 2 miliar. Kami belum tahu akan seperti apa, tapi insya Allah, mulai siaran akhir April," tutur Rida.
Harian Riau Pos di pedalaman Sumatra ini mulanya dipandang remeh sehingga tidak pernah disurvei oleh perusahaan penilai untuk kepentingan para pemasang iklan. AC Nielsen, misalnya, tak pernah memasukkan Riau Pos dalam surveinya sehingga koran Waspada Medan dan Fajar Makassar senantiasa dinilai sebagai koran terbesar di luar Pulau Jawa. "Setelah kami minta Riau Pos diperiksa juga, ketahuan bahwa kamilah yang terbesar," kata Rida, membanggakan korannya yang kini bertiras 35 ribu eksemplar per hari. Itu belum termasuk anak-anak perusahaan seperti Sijori Pos Tanjung Pinang (25 ribu eksemplar), Batam Pos (15 ribu eksemplar), dan lain-lain.
Tapi prestasi Riau Pos itu tidak diraih dengan mudah. Selama tiga tahun Rida mengaku harus berjuang dengan tangisan. Dibantu delapan orang, Rida mengupayakan koran itu terbit delapan halaman setiap hari. Pada hari-hari pertama ia menangis, karena tidak ada agen yang mau jual. "Tahun pertama oplah cuma 2.500, tahun kedua naik 5.000, tahun ketiga masih 8.000. Tahun keempat naik jadi 12 ribu. Baru pada tahun kelima dengan oplah 19 ribu. Kami bisa mengadakan pesta selamatan," kenang Rida. Rida pula yang pertama-tama merintis koran cetak jarak jauh. Ia semula panas karena koran Riau Pos selalu kalah cepat dengan koran Jakarta dalam pemasaran di Batam, daerah makmur di selatan Singapura itu.
Diam-diam ia memakai sistem cetak jarak jauh di Batam dan Tanjung Pinang, pulau kecil sebelah Pulau Batam. Pada 1995, Menteri Penerangan Harmoko kaget ketika suatu pagi sedang bermain tenis di Tanjung Pinang. Pukul 06.00 Harmoko sudah menemukan koran dari Pekanbaru. Rida terpaksa buka kartu, tapi Harmoko tidak mempermasalahkan usaha cetak jarak jauh itu sepanjang masih dalam provinsi yang sama.Untuk cetak jarak jauh, Riau Pos harus menyewa line satelit Rp 12 juta per bulan. Ketika dolar melejit pada 1997, tarif sewa naik jadi Rp 60 juta, mereka terpaksa ganti line pada Telkom Rp 8 juta per bulan. Ternyata line Telkom sering ngadat, sehingga mereka pindah lagi ke internet.
"Setelah datang reformasi, kami merasa tidak perlu lagi cetak jarak jauh. Bikin saja koran baru," ungkap Rida, menceritakan usahanya jadi raja koran di Sumatra. Sejak 1998, saat Riau Pos baru berusia 11 tahun, ia mendirikan Sijori Pos di Tanjung Pinang, Batam Pos dan Batam Ekspres, Dumai Pos, Radar Medan, dan Radar Nauli di Sumatera Utara, sampai Padang Ekspres di Sumatera Barat. Rida pernah mencoba ke Aceh, tapi melihat gawatnya medan di sana, Dahlan menasihati tak perlu. Dahlan memang pernah mengatakan, "Kami tidak berani masuk Aceh, sama seperti Timor Timur." Rida tidak bisa merambat ke Jambi dan Sumatra Selatan karena di sana sudah ada "kapal induk" Jawa Pos yang lain, bermarkas di Palembang.
Di Sumatra Selatan, Jawa Pos mulai menancapkan tonggaknya di Bengkulu. Ketika mendapatkan tawaran mengelola koran Semarak, dikirimlah Suparno, seorang reporter karier yang berprestasi mulai dari koresponden di Madiun hingga menjadi koordinator liputan Jawa Pos. "Mungkin karena badan saya ini kecil sehingga ditugaskan ke kota kecil (Bengkulu)," katanya dalam buku Jawa Pos Koran Kita. Lantaran Suparno menjalani tugasnya dengan sepenuh hati, harian Semarak cepat berkembang. (nur)
DALAM buku Jawa Pos Koran Kita yang diterbitkan 1 Januari tahun 2000, disebutkan kelompok Jawa Pos ada sebanyak 67 koran dan tabloid. Mereka tergabung dalam delapan armada yang disebut "kapal induk". Delapan armada itu masing-masing: Jawa Pos (Jawa Timur dan Jawa Tengah hingga Nusa Tenggara) dengan pangkalan Surabaya; Riau Pos (Riau, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat) dengan pangkalan Pekanbaru dan Sumatera Ekspres (Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung) dengan pangkalan Palembang.
Selanjutnya Rakyat Merdeka (Jakarta, Jawa Barat, dan sebagian Jawa Tengah) di Jakarta; Akcaya (Kalimantan Barat) di Pontianak; armada Manuntung (Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Tengah, dan Sulawesi Tengah) di Balikpapan; kelompok Fajar di Sulawesi Selatan dan Maluku, serta armada Manado Post (Sulawesi Utara, Halmahera, Papua Barat) dengan pangkalan Manado.
Jawa Pos biasanya hanya menempatkan satu "kuda andalan" dari Surabaya untuk memimpin setiap koran daerah yang mau bersanding.
Itu dilakukan Dahlan pada Manuntung (kini Kaltim Post) dengan menempatkan Zaenal Muttaqien ke Balikpapan. Kuda yang lain, Surya Aka, mulai kariernya sebagai koresponden di Madiun, lalu jadi sampai koordinator liputan di kantor Jawa Pos Surabaya, dan akhirnya dikirim ke Akcaya Pontianak. Sukses mengembangkan Akcaya, Surya Aka ditarik lagi ke pusat untuk mempertajam beberapa tabloid di Surabaya.
Masuknya Jawa Pos ke Sumatera Utara dimulai Dahlan dengan merekrut rekannya, mantan koresponden Tempo Rida K. Liamsi. Ini nama samaran yang dibalik dari Ismail Kadir. Sewaktu jadi koresponden Tempo, ia guru sekolah dasar sehingga perlu menyamarkan diri jadi wartawan. Rida toh melepaskan pekerjaan guru dan terus jadi wartawan. Karena lebih tertarik pada koran harian, pada 1983 Rida pindah ke Suara Karya. Sekali waktu di tahun 1989, ia ingin mewawancarai Dahlan Iskan tentang Persebaya. Dijawab Dahlan, "Sialan. You bantu saya saja, bikin koran Riau Pos!"
Rida, putra asli Riau, ternyata merasa cocok dengan manajemen ala Dahlan Iskan dan ia bisa menyalurkan keinginan Dahlan di koran Riau Pos bersama pemilik lama harian itu. Dengan oplah 35 ribu, Riau Pos setiap bulan mempunyai omset Rp 1,8 miliar sehingga mengungguli kapal-kapal induk lain: Fajar, Manuntung, Manado Post, Sumatera Ekspres dan Akcaya. Sewaktu saya berkunjung ke Pekanbaru, akhir Maret lalu, saya mendapati Riau Pos memiliki kantor megah berlantai dua, lengkap dengan mobil operasional untuk redaksi dan pemasaran juga sebuah Nissan Terano untuk Rida.
"Ini biasa dipakai Dahlan kalau mau ke Padang. Kita biasanya enam sampai tujuh jam, tapi kalau Dahlan yang setir, cuma lima jam," Rida membanggakan Dahlan. Di belakang gedung Riau Pos, terlihat suatu menara antena stasiun televisi sedang dibangun. Ternyata Rida sedang merintis lahirnya sebuah stasiun televisi swasta lokal pertama di Indonesia yang khusus disiarkan hanya untuk provinsi Riau. "Investasinya kecil-kecilan, cuma Rp 2 miliar. Kami belum tahu akan seperti apa, tapi insya Allah, mulai siaran akhir April," tutur Rida.
Harian Riau Pos di pedalaman Sumatra ini mulanya dipandang remeh sehingga tidak pernah disurvei oleh perusahaan penilai untuk kepentingan para pemasang iklan. AC Nielsen, misalnya, tak pernah memasukkan Riau Pos dalam surveinya sehingga koran Waspada Medan dan Fajar Makassar senantiasa dinilai sebagai koran terbesar di luar Pulau Jawa. "Setelah kami minta Riau Pos diperiksa juga, ketahuan bahwa kamilah yang terbesar," kata Rida, membanggakan korannya yang kini bertiras 35 ribu eksemplar per hari. Itu belum termasuk anak-anak perusahaan seperti Sijori Pos Tanjung Pinang (25 ribu eksemplar), Batam Pos (15 ribu eksemplar), dan lain-lain.
Tapi prestasi Riau Pos itu tidak diraih dengan mudah. Selama tiga tahun Rida mengaku harus berjuang dengan tangisan. Dibantu delapan orang, Rida mengupayakan koran itu terbit delapan halaman setiap hari. Pada hari-hari pertama ia menangis, karena tidak ada agen yang mau jual. "Tahun pertama oplah cuma 2.500, tahun kedua naik 5.000, tahun ketiga masih 8.000. Tahun keempat naik jadi 12 ribu. Baru pada tahun kelima dengan oplah 19 ribu. Kami bisa mengadakan pesta selamatan," kenang Rida. Rida pula yang pertama-tama merintis koran cetak jarak jauh. Ia semula panas karena koran Riau Pos selalu kalah cepat dengan koran Jakarta dalam pemasaran di Batam, daerah makmur di selatan Singapura itu.
Diam-diam ia memakai sistem cetak jarak jauh di Batam dan Tanjung Pinang, pulau kecil sebelah Pulau Batam. Pada 1995, Menteri Penerangan Harmoko kaget ketika suatu pagi sedang bermain tenis di Tanjung Pinang. Pukul 06.00 Harmoko sudah menemukan koran dari Pekanbaru. Rida terpaksa buka kartu, tapi Harmoko tidak mempermasalahkan usaha cetak jarak jauh itu sepanjang masih dalam provinsi yang sama.Untuk cetak jarak jauh, Riau Pos harus menyewa line satelit Rp 12 juta per bulan. Ketika dolar melejit pada 1997, tarif sewa naik jadi Rp 60 juta, mereka terpaksa ganti line pada Telkom Rp 8 juta per bulan. Ternyata line Telkom sering ngadat, sehingga mereka pindah lagi ke internet.
"Setelah datang reformasi, kami merasa tidak perlu lagi cetak jarak jauh. Bikin saja koran baru," ungkap Rida, menceritakan usahanya jadi raja koran di Sumatra. Sejak 1998, saat Riau Pos baru berusia 11 tahun, ia mendirikan Sijori Pos di Tanjung Pinang, Batam Pos dan Batam Ekspres, Dumai Pos, Radar Medan, dan Radar Nauli di Sumatera Utara, sampai Padang Ekspres di Sumatera Barat. Rida pernah mencoba ke Aceh, tapi melihat gawatnya medan di sana, Dahlan menasihati tak perlu. Dahlan memang pernah mengatakan, "Kami tidak berani masuk Aceh, sama seperti Timor Timur." Rida tidak bisa merambat ke Jambi dan Sumatra Selatan karena di sana sudah ada "kapal induk" Jawa Pos yang lain, bermarkas di Palembang.
Di Sumatra Selatan, Jawa Pos mulai menancapkan tonggaknya di Bengkulu. Ketika mendapatkan tawaran mengelola koran Semarak, dikirimlah Suparno, seorang reporter karier yang berprestasi mulai dari koresponden di Madiun hingga menjadi koordinator liputan Jawa Pos. "Mungkin karena badan saya ini kecil sehingga ditugaskan ke kota kecil (Bengkulu)," katanya dalam buku Jawa Pos Koran Kita. Lantaran Suparno menjalani tugasnya dengan sepenuh hati, harian Semarak cepat berkembang. (nur)
Jaringan Jawa Pos
Jadikan FAJAR Terbesar di Luar Jawa
SEJAK lima tahun pertama, Jawa Pos sudah melebarkan sayap di luar Pulau Jawa. Samola dengan membawa bendera Jawa Pos pergi ke kampungnya, Manado, dan mencoba membuka koran Cahaya Siang. "Bikin koran, kok, namanya Cahaya Siang," celetuk pemimpin redaksi Tempo Goenawan Mohamad. Entah karena namanya atau sebab lain, usaha itu berantakan. Upaya Dahlan untuk ke Samarinda bekerjasama dengan korannya yang dulu, juga ditolak mentah-mentah. Dari pengalaman itu, Jawa Pos lebih berhati-hati melakukan ekspansi bisnis media dan melirik bisnis nonmedia.
Masuknya Jawa Pos ke usaha nonmedia juga disebabkan lambatnya pertumbuhan bisnis media. Asetnya sulit jadi besar. "Sebab, pabriknya adalah manusia. Mesin-mesinnya yakni wartawan," kata Samola. Itu sebabnya Samola bersama Dahlan masuk ke sektor realestat, perhotelan, dan perbankan. Ternyata sektor nonmedia ini juga tak mengalami kemajuan pesat. Bahkan usaha perbankan yang dicoba dirintis Jawa Pos bersama Nahdlatul Ulama dan Bank Summa lewat bank perkreditan rakyat Nusumma, akhirnya ditinggalkan Jawa Pos. Mereka melirik lagi bisnis media di luar Pulau Jawa.
Banyak orang mengira ekspansi Jawa Pos ke daerah cuma dengan modal mesin-mesin cetak bekas. Apakah benar begitu? "Kami bergabung dengan Jawa Pos tahun 1985 hanya karena haus akan informasi yang benar dan akurat. Itu hanya bisa diperoleh apabila bisa mendapatkan akses berita ke pusat," kata Alwi Hamu, yang mendirikan harian FAJAR bersama Yusuf Kalla dan Sinansari Ecip di Makassar. Untuk kawin dengan Jawa Pos, Alwi dan kawan-kawan ikhlas melepaskan 41 persen saham mereka kepada Jawa Pos, 20 persen untuk karyawan dan tinggal 39 persen untuk pemilik lama.
Dari perkawinan itu, Fajar mendapatkan laporan berita dari Jakarta dan seluruh Jawa. Selain itu, beberapa wartawan Fajar diberi kesempatan magang kerja di Jawa Pos Surabaya. Maka jadilah Fajar koran terbesar di Indonesia bagian timur dengan tiras sekitar 30 ribu eksemplar. Alwi Hamu mengatakan Jawa Pos masuk PT Media Fajar tanpa membawa mesin percetakan bekas, sebab koran Makassar ini sudah punya percetakan. Justru Jawa Pos yang memodali Fajar membeli lahan sekitar satu hektar yang kini jadi kantor pusat Fajar, serta mesin cetak Goss Community.
Belakangan setelah gagal dengan Cahaya Siang, Jawa Pos mengambil Manado Post, yang ketika itu terlilit utang sekitar Rp 1 miliar pada sebuah bank pemerintah. "Saya bilang mau ambil, asal bank mau kasih tambahan utang Rp 500 juta," tutur Alwi. Dengan demikian Jawa Pos mulai mengelola Manado Post dengan utang Rp 1,5 miliar. Imawan Mashuri yang memulai kariernya sebagai wartawan artis hingga menjabat koordinator liputan Jawa Pos ditempatkan Dahlan di Manado Post dan dengan tegas diterapkan sistem manajemen Jawa Pos.
Tak urung sekali waktu ia berhadapan dengan anak buah yang menodongkan pistol. Tapi Imawan sukses menjadikan Manado Post sebagai koran terbesar di Sulawesi Utara sehingga utang-utang perusahaan itu bisa dilunasi. Kini ia menjadi "kuda andalan" Dahlan yang bertanggung jawab mengelola bisnis properti kelompok Jawa Pos (Graha Pena, hotel di Batam dan Nusa Tenggara Barat) dan persiapan delapan televisi lokal yang akan dibangun di delapan markas "kapal induk" Jawa Pos. (nur)
Sejarah Jawa Pos
Dibeli TEMPO
JAWA POS sebenarnya sebuah koran tua. Koran ini didirikan 1 Juli 1949 oleh pasangan suami isteri The Chung Shen alias Soeseno Tedjo dan Mega Endah. Om The dan Tante The, begitu bapak dan ibu ini dipanggil, pernah menjadi "raja koran" Indonesia karena memiliki tiga koran yang diterbitkan dalam tiga bahasa: Java Post, koran beraksara Cina Hwa Chiao Sien Wen dan koran berbahasa Belanda de Vrije Pers. Koran berbahasa Cina yang antikomunis itu akhirnya ditutup ketika Partai Komunis Indonesia makin kuat berpengaruh, sedangkan yang berbahasa Belanda diubah jadi koran berbahasa Inggris, Indonesian Daily News. Koran ini ditutup karena kesulitan mencari redaktur dan Dahlan kini mencoba menghidupkannya kembali.
Di zaman Orde Baru, koran Java Post, yang kemudian jadi Djawa Post, dan terakhir bernama Jawa Pos, terus mengalami kemunduran. Pada 1982, sirkulasi koran pagi itu cuma sekitar sepuluh persen dari tiras koran harian sore Surabaya Post. Anak-anak keluarga The, yang disekolahkan di Inggris, ternyata enggan balik ke Indonesia untuk melanjutkan usaha koran ini. Sementara Om dan Tante The merasa makin dirongrong usia sehingga memutuskan menjual Jawa Pos agar ada yang meneruskan. Kebetulan mereka bertemu direktur utama PT Grafiti Pers Eric Samola yang sedang berambisi melakukan ekspansi. Samola mulanya ingin menerbitkan sebuah majalah tandingan Tempo, seperti yang pernah dicoba Bur Rasuanto.
"Daripada orang lain yang bikin, kan lebih baik kita," kata Samola. Ketika itu, dengan oplah sekitar 25 ribu per minggu, majalah Tempo sudah mampu menggaji karyawannya dengan baik, memberi bonus, membelikan mobil dan sepeda motor untuk redaksi, bahkan sudah punya uang nganggur beberapa ratus juta yang didepositokan di bank. Pucuk dicinta, ulam pun tiba, ketemu koran Jawa Pos langsung dibeli. Tak jelas berapa transaksi pembelian seluruh saham keluarga The di PT Jawa Pos itu, tapi yang pasti modal kerja yang dianggarkan bagi Dahlan Iskan untuk meneruskan koran itu cuma Rp 45 juta. Pengucuran dana tidak sekaligus, tapi setetes demi setetes sesuai kebutuhan. Dahlan tidak protes tapi justru berupaya irit. Hingga, ketika PT Jawa Pos mampu mandiri dalam keuangan, modal dari Tempo yang terpakai tak sampai Rp 30 juta.
Kemandirian Jawa Pos itu tidak datang begitu saja. Dahlan dan seluruh staf lama Jawa Pos kerja keras dan kerja lebih keras. Begitu jadi pemimpin redaksi Jawa Pos, Dahlan menurunkan semua ilmu yang diperolehnya di Tempo kepada semua wartawan Jawa Pos. Sistem kerja wartawan Jawa Pos, yang tadinya hanya menantikan siaran pers atau undangan pertemuan pers, diubahnya jadi sistem mengejar dan menggali berita. Pola ini sangat membutuhkan perencanaan. Feature dan analisis berita yang sebelumnya tak tersentuh, digalakkan, posisinya disejajarkan dengan berita-berita hunting dan running news.
Redaksi yang biasanya sore-sore sudah pulang, diwajibkannya bekerja atau minimal siaga sampai pukul dua dinihari. Kalau ada peristiwa istimewa, wartawan disuruh ke lapangan sampai pukul 24.00. Pada jajaran redaksi juga ditanamkan semangat dan perasaan bangga bahwa mereka bukan lagi bekerja di koran daerah, tapi koran nasional. Pengiriman wartawan ke luar negeri pun dikembangkan. "Patut dikenang, hasil pengiriman Nany Wijaya ke Filipina secara nyata menaikkan oplah sebesar 40 ribu eksemplar, sekaligus menandai bermulanya citra baru Jawa Pos," kata Dahlan, mengacu pada reportase Nany saat diktator Ferdinand Marcos terpaksa turun gara-gara demonstrasi rakyat Filipina.
Para karyawan di bagian tata letak juga dikendalikannya dengan keras. Mereka harus bekerja tanpa kursi, harus kerja sambil berdiri terus mulai pukul dua siang sampai tiga dini hari. Setiap dini hari Dahlan datang dengan penggaris dan memukul-mukul meja supaya tata muka cepat selesai. Kalau terlambat, Dahlan tidak segan memukul paha karyawan. Peningkatan kinerja produksi tidak otomatis membuat pasaran membaik. Sistem kerja redaksi sudah ditingkatkan, rupa dan penampilan Jawa Pos juga sudah dipercantik, tapi para agen koran ternyata tidak mau jual. Dahlan gemas dan memeriksa pemasaran. Ia mendatangi para penjual dan agen-agen koran untuk mencari tahu ada apa dengan Jawa Pos.
Rupanya, selama itu korannya tidak dikenal. Ketika dibeli Tempo, sirkulasi Jawa Pos cuma 6.800 eksemplar. Dari jumlah itu, pelanggannya hanya 2.400 orang, sisanya dibagikan pada berbagai instansi pemerintah. Tidak ada yang dijual di pasar eceran. Dahlan lalu membujuk agar kios-kios pedagang koran mau memajang Jawa Pos. Kalau tidak laku, boleh di-retour (kirim kembali). Mereka ternyata malas mengisi formulir retour. Dahlan lalu memutuskan perlu membangun jalur pemasaran sendiri. Ia menyuruh keluarga karyawan ikut memasarkan Jawa Pos, juga merekrut anak sekolah menjajakan Jawa Pos di jalan-jalan dengan imbalan dibayarkan biaya sekolahnya.
Kiat ini berhasil. Jawa Pos mulai dilirik, mulai laku sehingga anak-anak sekolah yang menjajakan koran itu mulai terrangsang dengan sistem komisi sekian persen dari hasil penjualan. Pasar pelanggan tetap mulai terbentuk berkat upaya keluarga karyawan yang ikut menjual koran Jawa Pos. Istri Dahlan pun, Nafsiah, sangat getol mencari langganan. Menurut Hadiaman Santoso, ketua Persatuan Wartawan Indonesia cabang Jawa Timur, Nafsiah Dahlan pernah menggaet sampai 3.500 pelanggan. "Dengan itu saja, keluarga Dahlan sudah bisa hidup makmur," komentar Hadiaman, yang juga redaktur senior harian Surya, koran yang sempat ditakuti Dahlan karena harian ini diterbitkan di Surabaya oleh dua raksasa pers Jakarta: Kompas dan Pos Kota.
Memegang agen untuk 3.500 pelanggan jelas merupakan lahan penghasilan besar. Ketika saya mengikuti Dahlan dalam kunjungannya pada agen koran Pontianak Post pukul tiga pagi, saya dengar Dahlan menasihati mereka agar berupaya mendapatkan pelanggan minimal 200, "Kalau punya 200, itu sudah bisa hidup untuk keluarga dan itu bisa diwariskan ke anak cucu." Ya, hitung saja, jika satu koran berharga Rp 1.500 dengan komisi 40 persen, agen mendapat Rp 600 per eksemplar per hari. Jika ia mendapatkan 200 pelanggan, berarti pendapatan setiap hari Rp 120 ribu, jelas itu suatu jumlah yang cukup untuk belanja sehari-hari. Lha, bayangkan kalau Nafsiah punya 3.500 pelanggan, berapa penghasilan hariannya?
"Ah, itu bohong. Tak pernah sebanyak itu, cuma sekitar seribu pelanggan kok, tapi sudah kami bagikan-bagikan kepada orang lain. Sekarang saya pegang tinggal 500 pelanggan, tidak punya cukup waktu lagi," ujar Nafsiah. Jawabannya belum selesai. "Langganan 500 itu kami pertahankan sekadar untuk ngecek-ngecek apakah koran terlambat tiba di agen? Apakah pembayaran dari langgaran lancar atau tidak? Kalau ada yang jadi bos (maksudnya Dahlan Iskan), harus ada yang jadi kulinya di pasar," kelakar ibu dari Asrul Ananta Dahlan dan Isna Dahlan itu. Kendati sudah makmur dan punya mobil dinas Mercedes Benz berpelat nomor polisi L-1-JP, Dahlan Iskan sekeluarga ternyata masih tinggal di kompleks perumahan kelas menengah Tenggilis Mejoyo, Surabaya. "Itu bukan kompleks perumahan mewah," kata seorang sopir taksi yang saya tanyai.
Dahlan masih biasa hidup prihatin. Ketika krisis moneter tahun 1997 mulai menghantam, ia menyuruh para karyawan hidup hemat. Agar semua karyawan menghayati krisis moneter, ada larangan untuk bertepuk tangan di Jawa Pos. Dahlan dan direksi memberi contoh dengan merumahkan semua mobil mewah. Dan, untuk ke kantor, Dahlan yang suka mengebut itu memakai sedan Bimantara bekas, atau menumpang kendaraan sirkulasi Jawa Pos. Kacamatanya yang patah pun tidak dibetulkannya. Putrinya, Isna yang dulu kuliah di Amerika Serikat, ditariknya kembali kuliah di Surabaya. Untunglah putranya, Asrul Ananta, sudah lulus kuliah ekonomi manajemen di Amerika.
Ananta kini menjadi wartawan Jawa Pos yang mengisi rubrik anak-anak muda. (Sejak 2005 Asrul Ananda resmi menjadi pemimpin redaksi Jawa Pos--editor.) Jawa Pos juga memakai penggarapan pasar secara blok sejak lima tahun pertama (1982-1987). Blok pertama Surabaya, kedua Malang, kemudian Jember, dan seterusnya ke timur. Demikian pula ke barat sampai Jawa Tengah. Ditunjang sistem pemasaran macam ini, koran-koran pendatang baru, macam Surya, menjadi sulit bersaing dengan Jawa Pos. Pada 1993 muncul harian Surya dari konsorsium Kompas dan Pos Kota. Ini membuat Jawa Pos merasa dapat musuh berbahaya. Perang itu memang terlihat di jalanan. Menurut Hadiaman, poster-poster Surya sering ditutup poster Jawa Pos.
Belakangan saya dengar harian Kompas berupaya menyusup ke langganan Jawa Pos dengan menawarkan, jika mau berlangganan Kompas, akan diberi lampiran koran Jawa Pos gratis. "Jika itu benar, pasti bukan kebijakan koran KOMPAS. Saya pikir itu permainan agen saja," komentar Dahlan. Sebagai langkah pamungkas, Jawa Pos membeli mesin cetak sendiri dengan sistem sewa beli. Dengan demikian, kualitas produk menjadi sempurna luar dalam, isi maupun kulitnya. Dalam akhir lima tahun pertama, Jawa Pos sudah jadi koran spektakuler. Oplah mencapai 126 ribu eksemplar dengan omset tahunan melejit sampai Rp 10,6 miliar atau 20 kali lipat dari omset tahun pertama pada 1982.
Pada tahap lima tahun kedua (1987-1992), Jawa Pos terus memantapkan pasar. Kalau tadinya koran itu hanya dibeli kelas menengah bawah, Dahlan berupaya memperbaiki citranya untuk bersaing dengan Kompas di kalangan menengah atas. Untuk itu ia mengkampanyekan Jawa Pos sebagai 'koran nasional yang terbit dari Surabaya', dan menempatkan tenaga khusus di luar negeri. Pada 1992, oplah Jawa Pos mencapai 300 ribu eksemplar per hari dengan omset Rp 38,6 miliar. Bahkan sampai sekarang pun Dahlan Iskan masih melakukan macam-macam upaya. Ia populer bukan cuma di antara para pendukung klub sepakbola Persebaya. Ia juga dekat dengan para pengusaha keturunan Tionghoa di Surabaya.
"Tahu apa dia tentang Barongsai? Lalu mau jadi ketua Perhimpunan Barongsai Indonesia?" ujar Hadiaman dari Surya. (nur)
JAWA POS sebenarnya sebuah koran tua. Koran ini didirikan 1 Juli 1949 oleh pasangan suami isteri The Chung Shen alias Soeseno Tedjo dan Mega Endah. Om The dan Tante The, begitu bapak dan ibu ini dipanggil, pernah menjadi "raja koran" Indonesia karena memiliki tiga koran yang diterbitkan dalam tiga bahasa: Java Post, koran beraksara Cina Hwa Chiao Sien Wen dan koran berbahasa Belanda de Vrije Pers. Koran berbahasa Cina yang antikomunis itu akhirnya ditutup ketika Partai Komunis Indonesia makin kuat berpengaruh, sedangkan yang berbahasa Belanda diubah jadi koran berbahasa Inggris, Indonesian Daily News. Koran ini ditutup karena kesulitan mencari redaktur dan Dahlan kini mencoba menghidupkannya kembali.
Di zaman Orde Baru, koran Java Post, yang kemudian jadi Djawa Post, dan terakhir bernama Jawa Pos, terus mengalami kemunduran. Pada 1982, sirkulasi koran pagi itu cuma sekitar sepuluh persen dari tiras koran harian sore Surabaya Post. Anak-anak keluarga The, yang disekolahkan di Inggris, ternyata enggan balik ke Indonesia untuk melanjutkan usaha koran ini. Sementara Om dan Tante The merasa makin dirongrong usia sehingga memutuskan menjual Jawa Pos agar ada yang meneruskan. Kebetulan mereka bertemu direktur utama PT Grafiti Pers Eric Samola yang sedang berambisi melakukan ekspansi. Samola mulanya ingin menerbitkan sebuah majalah tandingan Tempo, seperti yang pernah dicoba Bur Rasuanto.
"Daripada orang lain yang bikin, kan lebih baik kita," kata Samola. Ketika itu, dengan oplah sekitar 25 ribu per minggu, majalah Tempo sudah mampu menggaji karyawannya dengan baik, memberi bonus, membelikan mobil dan sepeda motor untuk redaksi, bahkan sudah punya uang nganggur beberapa ratus juta yang didepositokan di bank. Pucuk dicinta, ulam pun tiba, ketemu koran Jawa Pos langsung dibeli. Tak jelas berapa transaksi pembelian seluruh saham keluarga The di PT Jawa Pos itu, tapi yang pasti modal kerja yang dianggarkan bagi Dahlan Iskan untuk meneruskan koran itu cuma Rp 45 juta. Pengucuran dana tidak sekaligus, tapi setetes demi setetes sesuai kebutuhan. Dahlan tidak protes tapi justru berupaya irit. Hingga, ketika PT Jawa Pos mampu mandiri dalam keuangan, modal dari Tempo yang terpakai tak sampai Rp 30 juta.
Kemandirian Jawa Pos itu tidak datang begitu saja. Dahlan dan seluruh staf lama Jawa Pos kerja keras dan kerja lebih keras. Begitu jadi pemimpin redaksi Jawa Pos, Dahlan menurunkan semua ilmu yang diperolehnya di Tempo kepada semua wartawan Jawa Pos. Sistem kerja wartawan Jawa Pos, yang tadinya hanya menantikan siaran pers atau undangan pertemuan pers, diubahnya jadi sistem mengejar dan menggali berita. Pola ini sangat membutuhkan perencanaan. Feature dan analisis berita yang sebelumnya tak tersentuh, digalakkan, posisinya disejajarkan dengan berita-berita hunting dan running news.
Redaksi yang biasanya sore-sore sudah pulang, diwajibkannya bekerja atau minimal siaga sampai pukul dua dinihari. Kalau ada peristiwa istimewa, wartawan disuruh ke lapangan sampai pukul 24.00. Pada jajaran redaksi juga ditanamkan semangat dan perasaan bangga bahwa mereka bukan lagi bekerja di koran daerah, tapi koran nasional. Pengiriman wartawan ke luar negeri pun dikembangkan. "Patut dikenang, hasil pengiriman Nany Wijaya ke Filipina secara nyata menaikkan oplah sebesar 40 ribu eksemplar, sekaligus menandai bermulanya citra baru Jawa Pos," kata Dahlan, mengacu pada reportase Nany saat diktator Ferdinand Marcos terpaksa turun gara-gara demonstrasi rakyat Filipina.
Para karyawan di bagian tata letak juga dikendalikannya dengan keras. Mereka harus bekerja tanpa kursi, harus kerja sambil berdiri terus mulai pukul dua siang sampai tiga dini hari. Setiap dini hari Dahlan datang dengan penggaris dan memukul-mukul meja supaya tata muka cepat selesai. Kalau terlambat, Dahlan tidak segan memukul paha karyawan. Peningkatan kinerja produksi tidak otomatis membuat pasaran membaik. Sistem kerja redaksi sudah ditingkatkan, rupa dan penampilan Jawa Pos juga sudah dipercantik, tapi para agen koran ternyata tidak mau jual. Dahlan gemas dan memeriksa pemasaran. Ia mendatangi para penjual dan agen-agen koran untuk mencari tahu ada apa dengan Jawa Pos.
Rupanya, selama itu korannya tidak dikenal. Ketika dibeli Tempo, sirkulasi Jawa Pos cuma 6.800 eksemplar. Dari jumlah itu, pelanggannya hanya 2.400 orang, sisanya dibagikan pada berbagai instansi pemerintah. Tidak ada yang dijual di pasar eceran. Dahlan lalu membujuk agar kios-kios pedagang koran mau memajang Jawa Pos. Kalau tidak laku, boleh di-retour (kirim kembali). Mereka ternyata malas mengisi formulir retour. Dahlan lalu memutuskan perlu membangun jalur pemasaran sendiri. Ia menyuruh keluarga karyawan ikut memasarkan Jawa Pos, juga merekrut anak sekolah menjajakan Jawa Pos di jalan-jalan dengan imbalan dibayarkan biaya sekolahnya.
Kiat ini berhasil. Jawa Pos mulai dilirik, mulai laku sehingga anak-anak sekolah yang menjajakan koran itu mulai terrangsang dengan sistem komisi sekian persen dari hasil penjualan. Pasar pelanggan tetap mulai terbentuk berkat upaya keluarga karyawan yang ikut menjual koran Jawa Pos. Istri Dahlan pun, Nafsiah, sangat getol mencari langganan. Menurut Hadiaman Santoso, ketua Persatuan Wartawan Indonesia cabang Jawa Timur, Nafsiah Dahlan pernah menggaet sampai 3.500 pelanggan. "Dengan itu saja, keluarga Dahlan sudah bisa hidup makmur," komentar Hadiaman, yang juga redaktur senior harian Surya, koran yang sempat ditakuti Dahlan karena harian ini diterbitkan di Surabaya oleh dua raksasa pers Jakarta: Kompas dan Pos Kota.
Memegang agen untuk 3.500 pelanggan jelas merupakan lahan penghasilan besar. Ketika saya mengikuti Dahlan dalam kunjungannya pada agen koran Pontianak Post pukul tiga pagi, saya dengar Dahlan menasihati mereka agar berupaya mendapatkan pelanggan minimal 200, "Kalau punya 200, itu sudah bisa hidup untuk keluarga dan itu bisa diwariskan ke anak cucu." Ya, hitung saja, jika satu koran berharga Rp 1.500 dengan komisi 40 persen, agen mendapat Rp 600 per eksemplar per hari. Jika ia mendapatkan 200 pelanggan, berarti pendapatan setiap hari Rp 120 ribu, jelas itu suatu jumlah yang cukup untuk belanja sehari-hari. Lha, bayangkan kalau Nafsiah punya 3.500 pelanggan, berapa penghasilan hariannya?
"Ah, itu bohong. Tak pernah sebanyak itu, cuma sekitar seribu pelanggan kok, tapi sudah kami bagikan-bagikan kepada orang lain. Sekarang saya pegang tinggal 500 pelanggan, tidak punya cukup waktu lagi," ujar Nafsiah. Jawabannya belum selesai. "Langganan 500 itu kami pertahankan sekadar untuk ngecek-ngecek apakah koran terlambat tiba di agen? Apakah pembayaran dari langgaran lancar atau tidak? Kalau ada yang jadi bos (maksudnya Dahlan Iskan), harus ada yang jadi kulinya di pasar," kelakar ibu dari Asrul Ananta Dahlan dan Isna Dahlan itu. Kendati sudah makmur dan punya mobil dinas Mercedes Benz berpelat nomor polisi L-1-JP, Dahlan Iskan sekeluarga ternyata masih tinggal di kompleks perumahan kelas menengah Tenggilis Mejoyo, Surabaya. "Itu bukan kompleks perumahan mewah," kata seorang sopir taksi yang saya tanyai.
Dahlan masih biasa hidup prihatin. Ketika krisis moneter tahun 1997 mulai menghantam, ia menyuruh para karyawan hidup hemat. Agar semua karyawan menghayati krisis moneter, ada larangan untuk bertepuk tangan di Jawa Pos. Dahlan dan direksi memberi contoh dengan merumahkan semua mobil mewah. Dan, untuk ke kantor, Dahlan yang suka mengebut itu memakai sedan Bimantara bekas, atau menumpang kendaraan sirkulasi Jawa Pos. Kacamatanya yang patah pun tidak dibetulkannya. Putrinya, Isna yang dulu kuliah di Amerika Serikat, ditariknya kembali kuliah di Surabaya. Untunglah putranya, Asrul Ananta, sudah lulus kuliah ekonomi manajemen di Amerika.
Ananta kini menjadi wartawan Jawa Pos yang mengisi rubrik anak-anak muda. (Sejak 2005 Asrul Ananda resmi menjadi pemimpin redaksi Jawa Pos--editor.) Jawa Pos juga memakai penggarapan pasar secara blok sejak lima tahun pertama (1982-1987). Blok pertama Surabaya, kedua Malang, kemudian Jember, dan seterusnya ke timur. Demikian pula ke barat sampai Jawa Tengah. Ditunjang sistem pemasaran macam ini, koran-koran pendatang baru, macam Surya, menjadi sulit bersaing dengan Jawa Pos. Pada 1993 muncul harian Surya dari konsorsium Kompas dan Pos Kota. Ini membuat Jawa Pos merasa dapat musuh berbahaya. Perang itu memang terlihat di jalanan. Menurut Hadiaman, poster-poster Surya sering ditutup poster Jawa Pos.
Belakangan saya dengar harian Kompas berupaya menyusup ke langganan Jawa Pos dengan menawarkan, jika mau berlangganan Kompas, akan diberi lampiran koran Jawa Pos gratis. "Jika itu benar, pasti bukan kebijakan koran KOMPAS. Saya pikir itu permainan agen saja," komentar Dahlan. Sebagai langkah pamungkas, Jawa Pos membeli mesin cetak sendiri dengan sistem sewa beli. Dengan demikian, kualitas produk menjadi sempurna luar dalam, isi maupun kulitnya. Dalam akhir lima tahun pertama, Jawa Pos sudah jadi koran spektakuler. Oplah mencapai 126 ribu eksemplar dengan omset tahunan melejit sampai Rp 10,6 miliar atau 20 kali lipat dari omset tahun pertama pada 1982.
Pada tahap lima tahun kedua (1987-1992), Jawa Pos terus memantapkan pasar. Kalau tadinya koran itu hanya dibeli kelas menengah bawah, Dahlan berupaya memperbaiki citranya untuk bersaing dengan Kompas di kalangan menengah atas. Untuk itu ia mengkampanyekan Jawa Pos sebagai 'koran nasional yang terbit dari Surabaya', dan menempatkan tenaga khusus di luar negeri. Pada 1992, oplah Jawa Pos mencapai 300 ribu eksemplar per hari dengan omset Rp 38,6 miliar. Bahkan sampai sekarang pun Dahlan Iskan masih melakukan macam-macam upaya. Ia populer bukan cuma di antara para pendukung klub sepakbola Persebaya. Ia juga dekat dengan para pengusaha keturunan Tionghoa di Surabaya.
"Tahu apa dia tentang Barongsai? Lalu mau jadi ketua Perhimpunan Barongsai Indonesia?" ujar Hadiaman dari Surya. (nur)
Karir Dahlan Iskan
Profil:
DAHLAN Iskan, lahir pada 17 Agustus 1951 di Magetan, Jawa Timur. Ia memulai karier pers di Samarinda 1970-an. "Ayah saya petani miskin. Ketika saya tamat SMA, ia tak sanggup lagi membiayai. Maka, saya ikut kakak di Samarinda untuk kuliah," ceritanya. Dua tahun di kampus IAIN Samarinda, ia merasa pengetahuannya tak bertambah. Lalu ogah-ogahan kuliah dan lebih menyibukkan diri di koran kampus. Akhirnya ia jadi wartawan sebuah koran lokal.
Sebuah lembaga swadaya masyarakat, Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi Sosial (LP3ES) mengikutkannya dalam program magang di Jakarta. "Dari sekitar 6.000 peserta, dipilih 18. Di sana, pagi kami harus ikut teori di LP3ES, sorenya magang di beberapa penerbitan. Saya ditempatkan di majalah Tempo, diasuh langsung oleh Bur Rasuanto (ketika itu pemimpin redaksi)," kisahnya. Di sini Dahlan berprestasi membuat laporan eksklusif tentang larinya terpidana mati, Kusni Kasdut dari penjara Cipinang.
Bur Rasuanto ternyata sangat menyukai Dahlan dan menawarinya masuk Tempo.
Lantaran kontrak dengan LP3ES, ia harus kembali ke daerah. Dahlan pun balik ke Samarinda sambil sesekali memberikan kontribusi buat Tempo. Tak lama kemudian ternyata terjadi gejolak di Tempo, 1976, yang mengakibatkan keluarnya Bur Rasuanto bersama beberapa wartawan dan redaktur. Beberapa kontributor Tempo di daerah mendukungnya. Bur bersama Imam Waloeyo dari majalah Prisma, Bunyamin Wibisono dan Atmakusumah Astraatmadja dari Indonesia Raya, menyiapkan Obor, sebuah majalah berita mingguan calon tandingan Tempo.
Dahlan menyatakan siap bergabung, asal Bur bisa mendapatkan izin terbit majalah itu. Tapi suasana politik 1977 terus memanas hingga 1978. Ada belasan koran yang dibredel pemerintahan Soeharto. Cuma Tempo yang melembek sehingga luput. Dahlan tetap bertahan di Tempo, kendati majalah itu dipandang banci. Sementara izin Obor tak kunjung diperoleh. Ketika sebuah kapal milik perusahaan Pelayaran Nasional Indonesia, Tampomas II terbakar dan tenggelam dengan sekitar lima ribu penumpang terpanggang hidup-hidup di perairan Masalembo, Laut Jawa, Dahlan meliput dan menulisnya untuk laporan utama Tempo yang luar biasa bagus.
Dua edisi berturut-turut sehingga ia dipromosikan jadi kepala biro Tempo Surabaya. Pada 1982, Tempo membeli koran Jawa Pos. Eric Samola, direktur utama PT Grafiti Pers, penerbit Tempo, ngotot menunjuk Dahlan Iskan ketimbang mengirim seorang redaktur, yang juga anggota pemegang saham Tempo, yang lebih berpengalaman untuk mengelola Jawa Pos. Samola berpendapat sebaiknya jangan ada orang Tempo dari Jakarta didrop ke Surabaya karena tak ingin merendahkan orang daerah. Maklum, ketika itu ada pertentangan politik antara pers nasional dan pers daerah.
Maka, Dahlan yang saat itu sudah dikenal sebagai warga Surabaya, ditunjuk jadi nahkoda Jawa Pos. Untuk pemasaran pun tidak diutus dari Jakarta, tapi ditunjuk kepala sirkulasi Tempo Surabaya, Imam Soeroso (kini direktur PT Jawa Pos). Keduanya dipandang oleh orang Tempo "sangat berani." Di sini mereka memang jadi pemimpin, tapi masa depannya terbayang suram. Hanya Samola yang optimis Jawa Pos bisa merebut pasar koran Surabaya yang saat itu dikuasai harian Surabaya Post dan Kompas. "Surabaya Post terbit sore, Kompas harus dikirim dari Jakarta. Kalau Jawa Pos diisi berita nasional dari Jakarta, dan diedarkan pukul lima pagi, masa tidak bisa menang?" begitu keyakinan Samola. (nur)
DAHLAN Iskan, lahir pada 17 Agustus 1951 di Magetan, Jawa Timur. Ia memulai karier pers di Samarinda 1970-an. "Ayah saya petani miskin. Ketika saya tamat SMA, ia tak sanggup lagi membiayai. Maka, saya ikut kakak di Samarinda untuk kuliah," ceritanya. Dua tahun di kampus IAIN Samarinda, ia merasa pengetahuannya tak bertambah. Lalu ogah-ogahan kuliah dan lebih menyibukkan diri di koran kampus. Akhirnya ia jadi wartawan sebuah koran lokal.
Sebuah lembaga swadaya masyarakat, Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi Sosial (LP3ES) mengikutkannya dalam program magang di Jakarta. "Dari sekitar 6.000 peserta, dipilih 18. Di sana, pagi kami harus ikut teori di LP3ES, sorenya magang di beberapa penerbitan. Saya ditempatkan di majalah Tempo, diasuh langsung oleh Bur Rasuanto (ketika itu pemimpin redaksi)," kisahnya. Di sini Dahlan berprestasi membuat laporan eksklusif tentang larinya terpidana mati, Kusni Kasdut dari penjara Cipinang.
Bur Rasuanto ternyata sangat menyukai Dahlan dan menawarinya masuk Tempo.
Lantaran kontrak dengan LP3ES, ia harus kembali ke daerah. Dahlan pun balik ke Samarinda sambil sesekali memberikan kontribusi buat Tempo. Tak lama kemudian ternyata terjadi gejolak di Tempo, 1976, yang mengakibatkan keluarnya Bur Rasuanto bersama beberapa wartawan dan redaktur. Beberapa kontributor Tempo di daerah mendukungnya. Bur bersama Imam Waloeyo dari majalah Prisma, Bunyamin Wibisono dan Atmakusumah Astraatmadja dari Indonesia Raya, menyiapkan Obor, sebuah majalah berita mingguan calon tandingan Tempo.
Dahlan menyatakan siap bergabung, asal Bur bisa mendapatkan izin terbit majalah itu. Tapi suasana politik 1977 terus memanas hingga 1978. Ada belasan koran yang dibredel pemerintahan Soeharto. Cuma Tempo yang melembek sehingga luput. Dahlan tetap bertahan di Tempo, kendati majalah itu dipandang banci. Sementara izin Obor tak kunjung diperoleh. Ketika sebuah kapal milik perusahaan Pelayaran Nasional Indonesia, Tampomas II terbakar dan tenggelam dengan sekitar lima ribu penumpang terpanggang hidup-hidup di perairan Masalembo, Laut Jawa, Dahlan meliput dan menulisnya untuk laporan utama Tempo yang luar biasa bagus.
Dua edisi berturut-turut sehingga ia dipromosikan jadi kepala biro Tempo Surabaya. Pada 1982, Tempo membeli koran Jawa Pos. Eric Samola, direktur utama PT Grafiti Pers, penerbit Tempo, ngotot menunjuk Dahlan Iskan ketimbang mengirim seorang redaktur, yang juga anggota pemegang saham Tempo, yang lebih berpengalaman untuk mengelola Jawa Pos. Samola berpendapat sebaiknya jangan ada orang Tempo dari Jakarta didrop ke Surabaya karena tak ingin merendahkan orang daerah. Maklum, ketika itu ada pertentangan politik antara pers nasional dan pers daerah.
Maka, Dahlan yang saat itu sudah dikenal sebagai warga Surabaya, ditunjuk jadi nahkoda Jawa Pos. Untuk pemasaran pun tidak diutus dari Jakarta, tapi ditunjuk kepala sirkulasi Tempo Surabaya, Imam Soeroso (kini direktur PT Jawa Pos). Keduanya dipandang oleh orang Tempo "sangat berani." Di sini mereka memang jadi pemimpin, tapi masa depannya terbayang suram. Hanya Samola yang optimis Jawa Pos bisa merebut pasar koran Surabaya yang saat itu dikuasai harian Surabaya Post dan Kompas. "Surabaya Post terbit sore, Kompas harus dikirim dari Jakarta. Kalau Jawa Pos diisi berita nasional dari Jakarta, dan diedarkan pukul lima pagi, masa tidak bisa menang?" begitu keyakinan Samola. (nur)
Dahlan Iskan Merintis Jawa Pos
Oleh: MAX WANGKAR
Sumber: PANTAU, edisi Mei 2001
JUMAT, 24 Februari 2001. Pukul enam pagi, saya duduk di ruang tunggu terminal F Bandar Udara Soekarno Hatta, Cengkareng. Sambil menunggu instruksi naik pesawat Lion Air tujuan Pontianak pukul 06.30, saya memejamkan mata sambil menikmati sisa-sisa kantuk yang belum hilang. Tiba-tiba saya terkejut ketika lutut kanan, yang saya silangkan di atas kaki kiri, terasa disentil-sentil orang. Siapa yang iseng sepagi ini? Ternyata Dahlan Iskan, chief executive officer Jawa Pos News Network.
Kehadiran raja koran ini membuat saya bingung lantaran sehari sebelumnya kami sepakat akan bertemu di Pontianak. Saya akan terbang dengan Lion Air sedangkan Dahlan dengan Garuda.
"Lho, Dahlan! Anda di sini? Apakah tidak jadi terbang ke Pontianak?" tanya saya.
"Jadi. Mari ke sini sebentar!" ujarnya sambil mencari kursi kosong menjauhi banyak orang.
"Anda tukar pesawat dan jadi terbang bersama saya?" tanya saya, sambil berharap begitu.
"Tidak," jawabnya. Saya bingung. Mau apa dia?
Ia berpenampilan menurut kebiasaannya yang urakan: berkemeja lengan panjang yang gombrang tanpa memasukkan ujung bawahnya ke dalam celana sebagaimana pantasnya. Pagi itu Dahlan bercelana panjang biru tua, kontras dengan sepatu kets putih. Sebuah jaket tipis sutera kelabu membungkus sebagian kemejanya.
Pria ini bermata besar yang sering membelalak di balik kacamatanya. Ia berbadan sedang. Di punggungnya tersandang tas model anak sekolah berlogo Jawa Pos. Tas kain itu tidak gendut layaknya bawaan orang yang sedang bepergian tanpa bagasi jinjing. Tas itu malah kempes ketika ditaruh di atas bangku. Dahlan membawa baju ganti cuma sepasang, baju olahraga (training).
Ia merogoh dasar tasnya, dan dari balik training itu dikeluarkannya sebuah buku. Saya sangka ia mau membaca buku sambil menunggu instruksi boarding, eh, ternyata buku itu diserahkannya kepada saya. Buku seperti novel pop itu berjudul Jawa Pos Koran Kita. "Ini buat baca-baca sambil terbang. Kita ketemu di Pontianak, ya? Wah, pesawat Anda lebih bagus!" ujarnya. Ia melongok ke arah pesawat Lion Air yang tampak kerdil di tempat mangkalnya pesawat-pesawat Garuda.
Baru saya membolak-balik buku pemberiannya, Dahlan sudah menghilang begitu saja. Saya mencarinya. Pasti ia bergegas ke ruang tunggu pesawat. Dalam hati kecil saya bangga juga. Rupanya, orang kaya dari Surabaya itu datang mencari saya sekadar menyerahkan buku di saat-saat mepet. Betapa rendah hatinya raja koran itu. Koran-koran Dahlan disebut Jawa Pos News Network karena semua komputer redaksinya terhubung satu sama lain.
Semua berita, feature, artikel, atau foto, baik liputan wartawan dan fotografer sendiri, maupun yang dibeli dari pihak ketiga, dimasukkan dalam bank data yang bisa diakses lewat komputer redaksi koran anggota Jawa Pos News Network. Dengan demikian, laporan serta foto-foto kerusuhan di Palangkaraya, misalnya, yang diliput wartawan Palangkaraya Pos, bisa dibuka di kantor Jawa Pos di Surabaya, Radar Medan, harian Fajar Makasar, juga Radar Merauke Papua Barat. Begitu pun sebaliknya, liputan Jakarta dapat diakses oleh semua anak Jawa Pos di daerah.
Jumat 24 Februari 2001 ini, Dahlan Iskan hendak melakukan kunjungan kerja sehari ke Pontianak, esoknya kembali ke Surabaya. Saya pikir inilah kesempatan yang tepat untuk melihat bagaimana Dahlan berkiprah di anak perusahaan Jawa Pos di daerah. Selanjutnya bisa membuntutinya sampai ke jantung Jawa Pos di Graha Pena, gedung perkantoran berlantai 20 milik Jawa Pos di Surabaya. Setibanya di Pontianak, saya sekali lagi dibuatnya bingung. Pesawat saya tiba duluan, maka saya menunggunya di bandar udara sesuai kesepakatan.
Saya duduk di sebuah bangku yang tepat menghadap pintu tempat munculnya penumpang yang turun dari pesawat Garuda. Setelah setengah jam menunggu dan tidak melihat Dahlan, saya bertanya pada petugas pengecekan bagasi bandara, "Apakah penumpang Garuda dari Jakarta sudah mendarat?"
"Oh, sudah keluar semua," ujar petugas yang saya tanyai.
Tentu saja saya kaget. Saya lari ke sana ke mari mencari Dahlan di areal parkir. Seorang sopir taksi gelap bertanya siapa yang saya cari. Saya memberi gambaran sosok Dahlan. Dia bilang orang itu sudah pergi dengan mobil sedan. Saya lalu menelepon kantor perwakilan Jawa Pos di Pontianak. Sopir taksi gelap tadi benar. Lewat telepon saya mendapat informasi Dahlan sudah dalam perjalanan menuju ke sana. Saya pun mencarter taksi gelap tadi, sebuah van Mitsubishi L-300 ke kantor Akcaya, anak perusahaan Jawa Pos di Pontianak.
*****
KANTOR Akcaya merupakan gandengan dua rumah kantor berlantai tiga. Di lantai dasar, separuh menjadi gudang kertas koran, separuhnya lagi tempat percetakan pers. Lantai dua ruang administrasi, lantai tiga ruang redaksi. Interior kantor itu tampak sederhana. Saya naik ke lantai dua. Seorang wanita setengah baya menyambut saya, "Pak Dahlan sedang pergi dengan direksi (PT Akcaya)." Ia menyilakan saya masuk ruang rapat. Di sana hanya ada sebuah meja rapat berbentuk lonjong tapi tidak ada kursi satupun. Wanita tadi menarik sebuah kursi dari ruang kerja karyawan keuangan untuk saya.
Di tembok depan saya terpampang sebuah papan tulis besar tempat coretan angka-angka bisnis yang agaknya baru saja dibicarakan dan belum sempat dihapus. Ketika menerka-nerka apa makna angka-angka itu, muncullah seorang pria yang mengaku bernama Yusri, lengkapnya Gusti Yusri. Yusri mengajak saya menemui Dahlan dengan mobilnya yang diparkir di belakang gedung. Di halaman belakang ini, menurut Yusri, hendak dibangun sebuah gedung kantor Akcaya yang baru, beberapa tingkat.
Telepon genggam Yusri sebentar-sebentar berbunyi dan dari jawabannya tertangkap bahwa Dahlan sudah tak sabar menunggu saya. "Pak Dahlan memang punya kebiasaan (menghilang) seperti itu. Sering terjadi, sementara yang jemput mencari-cari di airport, tahu-tahu diberi tahu Bapak sudah tiba di kota," tutur Yusri.
Tadinya saya menyangka Yusri "hanyalah" seorang karyawan bagian umum PT Akcaya Utama Press. Pria kecil berusia 34 tahun asal Sanggau, yang tampak imut-imut itu, begitu rendah hati sehingga tidak mau menyatakan kalau ia seorang bos. Yusri adalah pemimpin redaksi Kapuas Pos -sebuah suratkabar yang baru diterbitkan di Pontianak, 3 Februari 2001.
Kapuas Pos diterbitkan PT Akcaya Utama Press khusus untuk menggarap pasar pedalaman Kalimantan Barat, seperti Sanggau yang membutuhkan waktu delapan jam perjalanan dengan kapal, dan Sintang yang masih harus ditambah 10 jam lagi dengan mobil dari Sanggau. Koran itu dicetak sore, pukul 18.00 agar bisa dipasarkan pada hari edar, besoknya, di Sanggau dan Sintang. Sebab, pengalaman sebelumnya, koran Pontianak Post yang dicetak pukul 02.00 dini hari, jika dipasarkan di kabupaten Sanggau sudah menjelang tengah hari, bahkan kemalaman untuk pemasaran di Sintang.
Dengan mobilnya, jip Daihatsu Taft, Yusri mengantar saya ke tempat Dahlan berada. Ia ternyata sarapan bersama direktur utama PT Akcaya Utama Press, Tabrani Hadi, dan manajer umum Perwakilan Jawa Pos di Pontianak yang juga menjabat direktur PT Akcaya Utama Press, Untung Sukarti. Mereka sarapan di sebuah restoran sederhana. Begitu saya tiba, mereka sudah selesai sarapan dan bersiap-siap naik sebuah sedan Timor yang memakai pelat bernomor polisi warna merah.
"Kok nomor pelatnya merah?" tanya saya.
"Iya, ini mobil dinas saya," ujar Tabrani.
Bos Akcaya ini ternyata juga menjabat kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah Provinsi Kalimantan Barat. Di sedan itu, Tabrani duduk di kursi kiri depan, Sukarti memegang kemudi, Dahlan di kursi kiri belakang dan menyuruh saya di samping kanannya. Saya lalu melupakan masalah kegagalan perjumpaan dengan Dahlan di airport.
Sambil bercerita awal karier Dahlan serta masuknya Jawa Pos ke PT Akcaya Utama Press, kami meluncur ke sebuah pabrik kertas yang terletak di pinggiran utara kota Pontianak, di jalan raya arah Singkawang. Dahlan rupanya berkunjung ke Pontianak khusus melihat sebuah pabrik kertas yang sudah setahun berhenti produksi dan ia berminat membelinya. Ada niat Dahlan untuk memperbesar pabrik kertas milik Jawa Pos di Gresik, PT Adiprima Suraprinta, yang bukan cuma memasok kebutuhan kertas bagi koran-koran Jawa Pos News Network, tapi juga sudah mendapatkan pasaran ekspor antara lain Malaysia, Taiwan, dan India.
Setiba di sasaran, Dahlan langsung naik turun, berkeliling, ke pabrik kertas tersebut. Pemeriksaan dilakukannya sampai detail seraya membuat catatan. Terakhir, ia ingin mengecek kolam limbah pabrik yang sudah dikelilingi semak belukar setinggi satu-dua meter. Sambil lari, Dahlan berupaya menerobos belukar.
"Awas, ular," teriak saya. Mendengar peringatan saya, Dahlan balik dan mencari jalan lain. Ia minta orang lain yang berani menghadapi ular untuk jalan terdepan. Sambil bicara keras-keras dan membuat kebisingan dengan harapan agar ular menyingkir, kami akhirnya naik ke tembok kolam pembersihan limbah pabrik kertas itu. Untunglah kami tidak menjumpai binatang berbahaya.
Pabrik kertas yang sudah setahun berhenti produksi itu ternyata mesinnya buatan tahun 1928. Cuma alat kontrolnya yang sudah modern. Kecepatan mesinnya 40 ton per hari. Itu terlalu lamban dibandingkan kecepatan mesin pabrik kertas PT Adiprima Suraprinta yang tadinya 120, dan terakhir sudah dinaikkan menjadi 140. Pabrik ini terletak di atas lahan sekitar dua hektar sedangkan pabrik dan kolam limbahnya mungkin cuma seperempat dari lahan yang dipenuhi onak belukar itu.
"Yang punya pabrik ini, atau bank yang menguasai pabrik ini kalau kreditnya macet, pasti menghendaki penjualan seluruh asetnya. Lahan di sini terlalu besar, kita tidak perlu kebun. Yang kita butuhkan mungkin cuma mesinnya. Wah, nggak nyucuk, nggak bakal ketemu," kata Dahlan ketika kami sudah naik mobil lagi, hendak meluncur kembali ke kota Pontianak. Kendati begitu, Dahlan merasa tetap harus membuat laporan dan ingin ketemu dengan pemiliknya di Jakarta. Ia ternyata tak punya telepon genggam dan memang tidak mau punya. Namun, bos besar ini tidak sungkan meminjam telepon genggam milik anak buahnya. Ia meminjam telepon genggam Sukarti dan segera melaporkan semua data pabrik tadi kepada seorang pakar pabrik kertas di Jawa Timur.
"Mesin pabrik ini buatan Prancis tahun 1928, jadi dibuatnya sebelum kita lahir, bahkan mungkin sebelum bapak kita lahir," begitu lapor Dahlan kepada teknisi mesin kertas PT Adiprima Suraprinta di Gresik, Jawa Timur. Semua data yang ditulisnya tadi dilaporkan lewat telepon genggam selama beberapa menit.
"Wah, yang punya handphone ini bakal kena tagihan besar," kata Dahlan sambil memencet nomor lain lagi. Kali ini ia menghubungi perwakilan Jawa Pos di Jakarta dan minta segera mencari pemilik pabrik itu, lalu membuatkan janji untuk pembicaraan bisnis.
"Kalau bisa malam ini juga, atau besok pagi juga bisa," perintah Dahlan kepada anak buahnya di Jakarta. Tak sampai 10 menit, sudah ada jawaban dari Jakarta bahwa pemilik pabrik kertas itu bersedia ketemu Dahlan besok siang di sebuah hotel megah di Senayan, tempat Dahlan biasa menginap kalau ke Jakarta.
Merasa kunjungan ke Kalimantan Barat itu tercapai, selanjutnya Dahlan mencari sasaran lain. Siang itu baru sekitar pukul 11.00. Setelah melihat di koran Pontianak Post bahwa siang itu, pukul 13.00, ada penerbangan ke Balikpapan, Dahlan kembali memakai telepon genggam Sukarti untuk bicara dengan kepala perwakilan Jawa Pos di Kalimantan Timur.
Ia menanyakan cuaca di Balikpapan. Mendapat jawaban cuaca buruk, Dahlan membatalkan niatnya ke sana, karena penerbangan dari Pontianak-Balikpapan menggunakan pesawat berbaling-baling dua. "Saya memang begini. Pergi ke sana kemari, sering tanpa perencanaan. Bahkan kadang-kadang saya jalan saja ke airport. Di sana baru ambil keputusan mau ke mana," katanya. Saking banyaknya perusahaan Jawa Pos yang perlu dikunjungi, dan Dahlan agaknya suka membuat kunjungan in cognito alias sidik dadakan, terkadang sudah beli tiket, dibatalkan jika ada urusan yang dirasa lebih penting.
Batal ke Balikpapan, Dahlan memutuskan tidur dulu di Pontianak. "Semalam saya nonton bola (di televisi) hingga pukul 3.00," kata Dahlan. Saya maklum, kalau Dahlan gemar nonton sepak bola, sebab ia juga menjabat wakil ketua klub sepak bola Persebaya Surabaya. Oleh Sukarti, Dahlan diinapkan di sebuah kamar suite hotel berbintang tiga yang letaknya sekitar 500 meter dari kantor PT Akcaya Utama Press. "Sekarang pukul setengah satu. Kita ketemu lagi untuk makan siang pukul 2.00, ya," begitu instruksi Dahlan.
"Ya, bos," ujar Untung Sukarti sambil mengangguk.
Begitulah Dahlan Iskan, pengusaha besar yang mengelola banyak perusahaan. Siang bisa jadi waktu tidur, malam waktu begadang. Setelah tidur satu setengah jam, Dahlan mengadakan pertemuan dengan direksi dan beberapa manajer kelompok Akcaya mulai dari waktu makan siang sampai pukul sepuluh malam. Selanjutnya, ia melakukan pembicaraan-pembicaraan telepon ke Jawa Pos serta anak-anak perusahaan hingga tengah malam, baru pergi tidur ke hotel. Cuma untuk dua jam. Ia minta Sukarti menjemputnya pukul 02.00 dinihari.
Sukarti datang menjemputnya dengan kendaraan distribusi Pontianak Post, sebuah mobil van Daihatsu. Dahlan, dengan pakaian training, ikut manajer pemasaran untuk membawa koran kepada sekitar 12 agen. Koran itu tidak sekadar diturunkan di depan pintu rumah para agen. Dahlan turun dari mobil, mengetok pintu sampai para agen keluar, lalu berbincang-bincang sekitar satu hingga tiga menit. Ia menanyakan keadaan, menasihati, dan mendengarkan keinginan mereka. Usai keliling ke agen-agen, hari sudah subuh. Dahlan mengajak cari minum teh panas di pasar. Setelah membaca koran Pontianak Post, keluarlah celetukannya,
"Koran ini terlalu banyak berita kering. Kurang menonjolkan hal-hal kemanusiaan. Bilang pada redaksinya supaya kurangi wawancara pejabat dan suguhkan lebih banyak liputan masyarakat, bangkitkan penghargaan kota," pesan Dahlan kepada Sukarti. Ia lalu memberi beberapa nasihat kepada manajer pemasaran Pontianak Post Tri Hanjaya. "Kalau kerja di koran, jadi manajer pemasaran jangan pakai dasi," katanya.
Pukul 06.00 kami ke hotel, mengambil tas masing-masing lalu ke bandar udara Pontianak. Dalam mobil Sukarti tercium bau durian.
Dahlan ternyata penggemar berat durian. Karena itu Sukarti membawanya beberapa buah. "Pernah saya ke Singapura hanya untuk pergi makan durian. Itu karena diajak seorang teman, pengusaha di Jakarta," tutur Dahlan. Tiba di bandar udara, kami duduk santai di areal parkir bandara Soepadio, menunggu pesawat yang baru datang pukul 09.00. Dahlan dengan tenang menikmati durian dari Sekadau itu. Sejak kemarin pagi, baru pagi ini saya bisa mengobrol berduaan dengan Dahlan. Kami terbang ke Jakarta dengan pesawat pertama, Pelita Air yang cuma ada kelas ekonomi.
Tiket kelas bisnis Garuda yang sudah disediakan dari Jakarta, tidak jadi dipakainya karena terbang lebih siang, sedangkan ia mengejar janji pertemuan bisnis dengan pemilik pabrik kertas yang ditinjaunya di Pontianak. Tiba di Jakarta, Dahlan dengan pakaian yang semalam, sepasang training, pergi ke hotel bintang lima di Senayan untuk melakukan pembicaraan bisnis bersama pemilik pabrik kertas. Sementara saya langsung ke ruang tunggu Garuda. Kami sepakat naik Garuda ke Surabaya pukul 14.00. Dahlan ternyata bisa kembali dalam tempo satu jam setengah.
Ketika saya sudah dalam pesawat, lima menit sebelum terbang, Dahlan baru muncul. Pengalaman mendampingi Dahlan ternyata tidak mudah. Di Surabaya juga sulit mencarinya. Bos Jawa Pos ini ternyata tidak punya ruang kantor dan kursi di Graha Pena yang tinggi menjulang bagaikan gedung perkantoran menteri-menteri di Jakarta. Ia bahkan tak punya nomor telepon khusus. Dari waktu ke waktu ia yang menelepon staf sekretariat untuk melaporkan posisinya. (nur)
Jalur Undangan Siswa Enrekang Berkurang
KETIDAKSERIUSAN siswa mendaftar ke perguruan tinggi negeri (PTN) melalui jalur undangan, menyebabkan kuota siswa Enrekang tahun ini dipastikan berkurang. Sejumlah PTN bahkan telah memblacklist sekolah di Enrekang yang tahun sebelumnya membatalkan kelulusan siswanya setelah dinyatakan lulus dan diterima melalui jalur undangan di salah satu PTN ternama di Makassar. Dikonfirmasi terkait hal ini Kepala Dinas Pendidikan (Disdik) Enrekang, Arfah Rauf menyampaikan bahwa kejadian itu memang merugikan sekolah dan siswa yang akan mengikuti jalur undangan tahun ini.
Namun dia beranggapan bahwa hal yang dilakukan siswa juga tidak sepenuhnya keliru. Untuk itu Arfah Rauf meminta pada siswa terutama orang tua siswa, agar anak yang didaftarkan melalui jalur undangan ke sejumlah PTN tahun ini benar-benar yang serius ingin melanjutkan pendidikan ke PTN tersebut. Sebab jika tidak maka yang dikenakan sanksi adalah pihak sekolah. Masa pendaftaran untuk jalur undangan sendiri dibuka sampai 8 Maret mendatang. "Tahun lalu memang ada siswa kita dari SMAN 1 Anggeraja lulus di jalur undangan, tapi dia juga ikut seleksi PTN dan dinyatakan lulus di Manado. Dia pilih yang di Manado jadi jatah jalur undangan kita berkurang dan dikurangi PTN," kata Arfah Rauf.
Akibat kejadian tersebut menurutnya, sekolah yang bersangkutan dikenakan sanksi oleh PTN dan diblacklist sampai tiga tahun tidak akan diterima melalui jalur undangan. Hal ini menurutnya sangat merugikan siswa sekolah tersebut yang semula mengancang jalur undangan untuk ke PTN yang sama. Kedepan dia berharap agar siswa yang mengikuti jalur ini betul-betul diseleksi dengan ketat. Arfah juga membantah bahwa siswa yang tidak lulus itu lantaran kedapatan mendongkrak nilai rapor dari sekolah. Akibat kejadian tersebut SMAN 1 Anggeraja diblakclis bersama empat SMA lainnya di Sulselbar.
Dikonfirmasi terpisah, Kepala SMAN I Enrekang, M Hasbi menyampaikan keprihatinan yang sama. Untungnya karena kejadian itu tidak berimbas kesekolahnya. Tahun ini pihaknya tidak tetap mengusulkan siswa untuk jalur undangan. Dia juga menyatakan persetujuannya bahwa sistem perekrutan siswa untuk jalur undangan mesti ketat. Terutama merujuk pada nilai rapor yang bersangkutan. Untuk tahun 2012 ini pihaknya sementara mendata sekira 73 siswa dari 236 siswa SMAN 1 Enrekang untuk ikut seleksi PTN melalui Jalur Undangan. "Kita seleksi dengan ketat. Alhamdulillah jatah kita melalui jalur undangan tidak berkurang," kata M Hasbi. (nur)
Minggu, 19 Februari 2012
Lima Ormas di Enrekang
Lima Ormas Siap Menangkan SYL
SAMBUTAN luar biasa ditunjukkan masyarakat Enrekang saat menyambut kehadiran Gubernur Syahrul Yasin Limpo di Bumi Massenrempulu. Diterima di Stadion Mini Enrekang sore kemarin, Syahrul disambut dengan pernyataan sikap lima ormas yang menyatakan siap mendukung penuh pencalonannya sebagai Gubernur Sulsel untuk periode ke dua 2013 mendatang. Lima ormas yang semuanya diketuai Chaerul Latanro itu masing-masing Kosgoro, Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia (Ampi), Federasi Olahraga Karate-Do Indonesia (Forki), Pemuda Pancasila (PP) dan Pengcab PSSI Enrekang. Pernyataan sikap sendiri dibacakan oleh Sekertaris AMPI Enrekang, Sudirman dihadapan SYL dan sekira 10.000 massa yang memadati stadion Mini Enrekang sore kemarin.
"Kami menyatakan mendukung penuh dan siap menangkan pak Syahrul di Enrekang," kata Sudirman dalam pernyataan sikapnya, Sabtu 18 Februari. Dia bahkan menyatakan bahwa pengurus lima ormas tersebut siap mundur jika tidak berhasil memenangkan SYL di Enrekang. Mendapat dukungan dari Ormas tersebut, Syahrul langsung melambaikan tangan yang disambut aplaus riuh dan menyalami perwakilan lima ormas satu persatu. Syahrul sendiri berkunjung ke Enrekang sekaitan dengan perayaan HUT Kabupaten Enrekang yang jatuh pada hari Minggu, 19 Februari. Di Stadion Bumi Massenrempulu Enrekang, Syahrul didampingi Bupati, La Tinro La Tunrung dan Syamsuddin Umar, berkesempatan membuka turnamen sepakbola Halal Cup I yang diikuti sebanyak 330 klub sepakbola di Enrekang. Selain lima Ormas tersebut, Syahrul juga mendapat dukungan dari UA Community, yang pada Pilgub lalu menjadi bagian tim pemenangan SYL di Enrekang. "Karena sekarang belum terbentuk relawan independen maka kami dari relawan UA Community juga siap memenangkan SYL. Terutama untuk wilayah Duri Kompleks dan Kecamatan Bungin," kata Ketua UA Community, Abd Syukur.
Sementara Ketua lima ormas di Enrekang, Chaerul Latanro menyatakan bahwa pernyataan sikap yang dibacakan anggotanya sebagai bentuk dukungan agar Syahrul kembali memenangkan pertarungan Pilgub di Enrekang. Sebelum membuka turnamen Halal Cup I, Syahrul bersama istri, Ny Hj Ayu Sri Harahap mengunjungi kampung halaman Ny Ayu Sri di Maroangin Kecamatan Maiwa Enrekang. Ditempat ini Syahrul mengadakan tudang sipulung bersama tokoh masyarakat sekitar. Disepanjang lokasi yang dilalaui rombongan, masyarakat tidak sungkan lagi meneriakkan yel Don't Stop Komandan. Namun di Enrekang, yel tersebut disambung dengan yel "Iyarate'e" yang dipopulerkan oleh Bupati Enrekang La Tinro La Tunrung. Sebelumnya, La Tinro menyatakan siap memenangkan SYL dengan presentase diatas 50 persen. "Kita tidak bisa pungkiri pak Ilham terutama Azis punya basis disini. Tapi ingat istri pak Syahrul juga orang Enrekang. Dan sebagai gubernur beliau sudah banyak membantu daerah ini," kata La Tinro beberapa waktu lalu. (nur)
SAMBUTAN luar biasa ditunjukkan masyarakat Enrekang saat menyambut kehadiran Gubernur Syahrul Yasin Limpo di Bumi Massenrempulu. Diterima di Stadion Mini Enrekang sore kemarin, Syahrul disambut dengan pernyataan sikap lima ormas yang menyatakan siap mendukung penuh pencalonannya sebagai Gubernur Sulsel untuk periode ke dua 2013 mendatang. Lima ormas yang semuanya diketuai Chaerul Latanro itu masing-masing Kosgoro, Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia (Ampi), Federasi Olahraga Karate-Do Indonesia (Forki), Pemuda Pancasila (PP) dan Pengcab PSSI Enrekang. Pernyataan sikap sendiri dibacakan oleh Sekertaris AMPI Enrekang, Sudirman dihadapan SYL dan sekira 10.000 massa yang memadati stadion Mini Enrekang sore kemarin.
"Kami menyatakan mendukung penuh dan siap menangkan pak Syahrul di Enrekang," kata Sudirman dalam pernyataan sikapnya, Sabtu 18 Februari. Dia bahkan menyatakan bahwa pengurus lima ormas tersebut siap mundur jika tidak berhasil memenangkan SYL di Enrekang. Mendapat dukungan dari Ormas tersebut, Syahrul langsung melambaikan tangan yang disambut aplaus riuh dan menyalami perwakilan lima ormas satu persatu. Syahrul sendiri berkunjung ke Enrekang sekaitan dengan perayaan HUT Kabupaten Enrekang yang jatuh pada hari Minggu, 19 Februari. Di Stadion Bumi Massenrempulu Enrekang, Syahrul didampingi Bupati, La Tinro La Tunrung dan Syamsuddin Umar, berkesempatan membuka turnamen sepakbola Halal Cup I yang diikuti sebanyak 330 klub sepakbola di Enrekang. Selain lima Ormas tersebut, Syahrul juga mendapat dukungan dari UA Community, yang pada Pilgub lalu menjadi bagian tim pemenangan SYL di Enrekang. "Karena sekarang belum terbentuk relawan independen maka kami dari relawan UA Community juga siap memenangkan SYL. Terutama untuk wilayah Duri Kompleks dan Kecamatan Bungin," kata Ketua UA Community, Abd Syukur.
Sementara Ketua lima ormas di Enrekang, Chaerul Latanro menyatakan bahwa pernyataan sikap yang dibacakan anggotanya sebagai bentuk dukungan agar Syahrul kembali memenangkan pertarungan Pilgub di Enrekang. Sebelum membuka turnamen Halal Cup I, Syahrul bersama istri, Ny Hj Ayu Sri Harahap mengunjungi kampung halaman Ny Ayu Sri di Maroangin Kecamatan Maiwa Enrekang. Ditempat ini Syahrul mengadakan tudang sipulung bersama tokoh masyarakat sekitar. Disepanjang lokasi yang dilalaui rombongan, masyarakat tidak sungkan lagi meneriakkan yel Don't Stop Komandan. Namun di Enrekang, yel tersebut disambung dengan yel "Iyarate'e" yang dipopulerkan oleh Bupati Enrekang La Tinro La Tunrung. Sebelumnya, La Tinro menyatakan siap memenangkan SYL dengan presentase diatas 50 persen. "Kita tidak bisa pungkiri pak Ilham terutama Azis punya basis disini. Tapi ingat istri pak Syahrul juga orang Enrekang. Dan sebagai gubernur beliau sudah banyak membantu daerah ini," kata La Tinro beberapa waktu lalu. (nur)
Jumat, 17 Februari 2012
Gaji Pensiunan PNS Juga Naik
SETELAH gaji PNS aktif dinaikan, kini tiba pula giliran
pensiunan PNS mendapatkan kenaikan uang pensiun dengan kebijakan untuk
menaikan uang pension terendah dari Rp1.175.000 menjadi Rp1,26 juta per
bulan. Informasi dari Sekretariat Kabinet, kebijakan itu dikuatkan dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 18/2012 tentang Penetapan Pensiun Pokok yang
menggantikan PP No. 14/200. Kalau PP yang lama menetapkan pensiun pokok
terendah adalah Rp 1.175.000 (Gol. I/a – IV/e) dan tertinggi Rp
3.075.000 (gol. IV/e), maka dengan PP No.18 ditetapkan terendahnya
menjadi Rp1,26 juta.
Dalam lampiran PP No. 18 Tahun 2012 itu, pensiunan PNS golongan I/a dibagi dalam 14 kelompok, dengan besarnya uang pensiun pokok dari Rp 1,26 juta sampai Rp 1.385.300. golongan I/b sebesar Rp 1.260.000 – Rp1.465.500, golongan I/c dari Rp 1.260.000 – Rp1.527.500, dan gol. I/d dari Rp 1.260.000 – Rp 1.592.100. Untuk golongan II/a besarnya pensiun pokok tertinggi Rp 1.980.200, Gol. II/b tertinggi Rp 2.064.000, gol. II/c tertinggi Rp 2.151.300, dan gol. II/d tertinggi Rp 2.242.200.
Untuk gol. III/a besarnya pensiun pokok tertinggi adalah Rp 2.478.800, Gol. III/b tertinggi Rp 2.583.600, gol. III/c tertinggi Rp 2.692.900, dan gol. III/d tertinggi Rp 2.806.800. Selanjutnya, golongan IV/a besaran pensiun tertingginya Rp 2.925.500, Gol. IV/b tertingginya Rp 3.049.200, Gol. IV/c tertinggi Rp 3.178.200, gol. IV/d tertinggi Rp 3.312.700, dan golongan IV/e tertinggi Rp 3.452.800.
Sementara itu, ungkap Sekretariat Kabinet, pensiunpokok pensiunan janda atau duda PNS gol. I/a sampai I/d ditetapkan Rp945.000, Gol. II/a tertinggi Rp 950.500, Gol. II/b tertinggi Rp 990.700, gol. II/c tertinggi Rp 1.032.600, dan gol. II/d tertinggi 1.076.300. Untuk pensiunan janda PNS gol. III/a tertinggi Rp 1.189.800, gol. III/b tertinggi Rp 1.240.200, gol. III/c tertinggi Rp 1.292.600, dan gol. III/d tertinggi Rp 1.347.300.
Untuk pensiunan janda atau duda PNS gol. IV/a tertinggi Rp 1.404.300, gol. IV/b tertinggi Rp 1.463.700, gol IV/c tertinggi Rp 1.525.600, gol. IV/d tertinggi Rp 1.590.100, dan gol. IV/2 tertinggi Rp 1.657.400.
Menurut Setkab, dalam Pasal 5 PP No. 18 juga diberikan tunjangan keluarga dan tunjangan pangan yang berlaku bagi PNS bagi pensiunan sesuai ketentuan perundang-undangan. (nur)
Dalam lampiran PP No. 18 Tahun 2012 itu, pensiunan PNS golongan I/a dibagi dalam 14 kelompok, dengan besarnya uang pensiun pokok dari Rp 1,26 juta sampai Rp 1.385.300. golongan I/b sebesar Rp 1.260.000 – Rp1.465.500, golongan I/c dari Rp 1.260.000 – Rp1.527.500, dan gol. I/d dari Rp 1.260.000 – Rp 1.592.100. Untuk golongan II/a besarnya pensiun pokok tertinggi Rp 1.980.200, Gol. II/b tertinggi Rp 2.064.000, gol. II/c tertinggi Rp 2.151.300, dan gol. II/d tertinggi Rp 2.242.200.
Untuk gol. III/a besarnya pensiun pokok tertinggi adalah Rp 2.478.800, Gol. III/b tertinggi Rp 2.583.600, gol. III/c tertinggi Rp 2.692.900, dan gol. III/d tertinggi Rp 2.806.800. Selanjutnya, golongan IV/a besaran pensiun tertingginya Rp 2.925.500, Gol. IV/b tertingginya Rp 3.049.200, Gol. IV/c tertinggi Rp 3.178.200, gol. IV/d tertinggi Rp 3.312.700, dan golongan IV/e tertinggi Rp 3.452.800.
Sementara itu, ungkap Sekretariat Kabinet, pensiunpokok pensiunan janda atau duda PNS gol. I/a sampai I/d ditetapkan Rp945.000, Gol. II/a tertinggi Rp 950.500, Gol. II/b tertinggi Rp 990.700, gol. II/c tertinggi Rp 1.032.600, dan gol. II/d tertinggi 1.076.300. Untuk pensiunan janda PNS gol. III/a tertinggi Rp 1.189.800, gol. III/b tertinggi Rp 1.240.200, gol. III/c tertinggi Rp 1.292.600, dan gol. III/d tertinggi Rp 1.347.300.
Untuk pensiunan janda atau duda PNS gol. IV/a tertinggi Rp 1.404.300, gol. IV/b tertinggi Rp 1.463.700, gol IV/c tertinggi Rp 1.525.600, gol. IV/d tertinggi Rp 1.590.100, dan gol. IV/2 tertinggi Rp 1.657.400.
Menurut Setkab, dalam Pasal 5 PP No. 18 juga diberikan tunjangan keluarga dan tunjangan pangan yang berlaku bagi PNS bagi pensiunan sesuai ketentuan perundang-undangan. (nur)
Kamis, 16 Februari 2012
Perusda Enrekang (Selesai)
Alfian Siap Tinggalkan Perusda (2-Selesai)
*Usul Revisi Perda, Perusda Jadi PT
Status Perusda Mata Allo Enrekang saat ini dianggap Dirut Perusda Demisioner, Alfian cukup merepotkan. Dimana mereka dituntut meningkatkan PAD namun tidak bisa leluasa bergerak. Terlebih karena status Perusda yang tidak mandiri. Dipenghujung jabatan selaku Dirut, Alfian mengusulkan kedepan Perusda berubah menjadi Perseroan Terbatas (PT)
M NASRUN NUR, Enrekang
BUKU setebal makalah terus dibolak-balik Alfian. Warnanya sudah menguning, modelnya lusuh dan hampir robek. Namun isinya ternyata cukup penting lantaran memuat pijakan dan landasan pendirian Perusda Mata Allo Enrekang. Itulah Perda yang dibuat berdasarkan persetujuan Pemkab dan DPRD Enrekang sejak tahun 1986 silam, isinya mengatur tetek bengek tentang pembentukan Perusda. Kampir 30 tahun Perda tersebut belum pernah direvisi. "Kita semua seharusnya mengacu pada isi Perda ini. Walau sebenarnya sudah usang tapi inilah landasan kita. Kalau dianggap tidak sesuai seharusnya sudah direvisi oleh Pemkab dan DPRD Enrekang saat ini," kata Alfian.
Merujuk isi Perda tersebut ternyata banyak kejanggalan di Perusda. Diantaranya komposisi Badan Pengawas Perusda yang berjumlah minimal 3 orang dan maksimal 5 orang. Sejak tahun 2004 Dewan Pengawas Perusda ternyata hanya satu yakni Bupati yang juga merangkap Ketua Badan Pengawas. Satu nama lainnya yakni Nurbaya, mengundurkan diri pada 2009 lalu. Termasuk ketentuan dalam Perda mewajibkan Pemkab mengikutsertakan modal atau saham sebesar Rp300 juta yang sampai saat ini tidak pernah terealisasi.
"Tidak ada yang mampu membuktikan bahwa dana itu pernah disetor. Itu dikuatkan dengan rekening koran Perusda di BPD," ujarnya. Olehnya kedepan, dia mengusulkan agar Perda yang menjadi acuan Perusda saat ini direvisi. Termasuk dengan mengusulkan status perusda diubah menjadi Perseroan Terbatas (PT). Sebab tanpa kepemilikan saham daerah di Perusda, maka seyogiyanya keuntungan Rp1,3 miliar per 31 Desember 2011 Perusda tidak berhak diklaim oleh pemerintah daerah. Dalam Perda mengatur bahwa kepemilikan saham seperdua saja maka keuntungan yang berhak diberikan ke daerah hanya 13 persen.
Rinciannya untuk Dana Pembangunan Daerah sebesar 6 persen dan untuk Anggaran Belanja Daerah sebesar 7 persen. Itu tertuang pada Bab XV Tentang Penetapan dan Penggunaan Laba Produksi, Pasal 30 ayat 2 dalam Perda No1 Tahun 1986 Tentang Pembentukan Perusda. Ini dianggap direksi Perusda tidak dipahami sejumlah kalangan termasuk sebahagian besar anggota DPRD Enrekang saat ini. Walau merasa sudah membukukan laba besar untuk daerah, Perusda dibawah kepemimpinan Alfian juga mengakui sejumlah kekurangan selama dirinya menjabat. Terkait sejumlah usulan yang disampaikan Alfian, direspons positif Dirut Perusda terpilih, Suafri Giffari.
Namun untuk tahap awal yang paling penting dibenahi menurut mantan aktivis LSM ini adalah penguatan internal Perusda itu sendiri. Dia mencontohkan struktur Dewan Pengawas Perusda yang tidak jelas sampai saat ini juga menjadi salah satu kendala kedepan. Apalagi Perusda Mata Allo Enrekang sudah berumur puluhan tahun. Perusda menurutnya tidak boleh sekedar memikirkan profit orientet. Tapi lebih pada hubungan sosial dengan masyarakat. Keuntungan yang diperoleh harus berefek domino bagi stakeholder Perusda. Saat kelengkapan internal dan infratsruktur Perusda sudah dirasa kuat, baru memikirkan ekspansi usaha yang lebih besar.
"Kita harus bisa mengukur baju di badan. Perusda sudah puluhan tahun tidak jelas siapa pemegang sahamnya. Saat perusda secara internal sudah kuat dan berjalan dengan benar, kita akan mengarah kesana. Target saya bagaimana menggerakkan ekonomi kerakyatan. Kue khas Enrekang seperti dangke masih bisa dimaksimalkan," kata Suafri. Jelasnya ditangan Dirut Perusa yang baru, masyarakat butuh aplikasi program nyata yang mensejahterakan mereka. Dan Perusda tentu siap setiap saat dikritik oleh stakeholder mereka. Termasuk kritikan pedas dari DPRD Enrekang. (nur)
*Usul Revisi Perda, Perusda Jadi PT
Status Perusda Mata Allo Enrekang saat ini dianggap Dirut Perusda Demisioner, Alfian cukup merepotkan. Dimana mereka dituntut meningkatkan PAD namun tidak bisa leluasa bergerak. Terlebih karena status Perusda yang tidak mandiri. Dipenghujung jabatan selaku Dirut, Alfian mengusulkan kedepan Perusda berubah menjadi Perseroan Terbatas (PT)
M NASRUN NUR, Enrekang
BUKU setebal makalah terus dibolak-balik Alfian. Warnanya sudah menguning, modelnya lusuh dan hampir robek. Namun isinya ternyata cukup penting lantaran memuat pijakan dan landasan pendirian Perusda Mata Allo Enrekang. Itulah Perda yang dibuat berdasarkan persetujuan Pemkab dan DPRD Enrekang sejak tahun 1986 silam, isinya mengatur tetek bengek tentang pembentukan Perusda. Kampir 30 tahun Perda tersebut belum pernah direvisi. "Kita semua seharusnya mengacu pada isi Perda ini. Walau sebenarnya sudah usang tapi inilah landasan kita. Kalau dianggap tidak sesuai seharusnya sudah direvisi oleh Pemkab dan DPRD Enrekang saat ini," kata Alfian.
Merujuk isi Perda tersebut ternyata banyak kejanggalan di Perusda. Diantaranya komposisi Badan Pengawas Perusda yang berjumlah minimal 3 orang dan maksimal 5 orang. Sejak tahun 2004 Dewan Pengawas Perusda ternyata hanya satu yakni Bupati yang juga merangkap Ketua Badan Pengawas. Satu nama lainnya yakni Nurbaya, mengundurkan diri pada 2009 lalu. Termasuk ketentuan dalam Perda mewajibkan Pemkab mengikutsertakan modal atau saham sebesar Rp300 juta yang sampai saat ini tidak pernah terealisasi.
"Tidak ada yang mampu membuktikan bahwa dana itu pernah disetor. Itu dikuatkan dengan rekening koran Perusda di BPD," ujarnya. Olehnya kedepan, dia mengusulkan agar Perda yang menjadi acuan Perusda saat ini direvisi. Termasuk dengan mengusulkan status perusda diubah menjadi Perseroan Terbatas (PT). Sebab tanpa kepemilikan saham daerah di Perusda, maka seyogiyanya keuntungan Rp1,3 miliar per 31 Desember 2011 Perusda tidak berhak diklaim oleh pemerintah daerah. Dalam Perda mengatur bahwa kepemilikan saham seperdua saja maka keuntungan yang berhak diberikan ke daerah hanya 13 persen.
Rinciannya untuk Dana Pembangunan Daerah sebesar 6 persen dan untuk Anggaran Belanja Daerah sebesar 7 persen. Itu tertuang pada Bab XV Tentang Penetapan dan Penggunaan Laba Produksi, Pasal 30 ayat 2 dalam Perda No1 Tahun 1986 Tentang Pembentukan Perusda. Ini dianggap direksi Perusda tidak dipahami sejumlah kalangan termasuk sebahagian besar anggota DPRD Enrekang saat ini. Walau merasa sudah membukukan laba besar untuk daerah, Perusda dibawah kepemimpinan Alfian juga mengakui sejumlah kekurangan selama dirinya menjabat. Terkait sejumlah usulan yang disampaikan Alfian, direspons positif Dirut Perusda terpilih, Suafri Giffari.
Namun untuk tahap awal yang paling penting dibenahi menurut mantan aktivis LSM ini adalah penguatan internal Perusda itu sendiri. Dia mencontohkan struktur Dewan Pengawas Perusda yang tidak jelas sampai saat ini juga menjadi salah satu kendala kedepan. Apalagi Perusda Mata Allo Enrekang sudah berumur puluhan tahun. Perusda menurutnya tidak boleh sekedar memikirkan profit orientet. Tapi lebih pada hubungan sosial dengan masyarakat. Keuntungan yang diperoleh harus berefek domino bagi stakeholder Perusda. Saat kelengkapan internal dan infratsruktur Perusda sudah dirasa kuat, baru memikirkan ekspansi usaha yang lebih besar.
"Kita harus bisa mengukur baju di badan. Perusda sudah puluhan tahun tidak jelas siapa pemegang sahamnya. Saat perusda secara internal sudah kuat dan berjalan dengan benar, kita akan mengarah kesana. Target saya bagaimana menggerakkan ekonomi kerakyatan. Kue khas Enrekang seperti dangke masih bisa dimaksimalkan," kata Suafri. Jelasnya ditangan Dirut Perusa yang baru, masyarakat butuh aplikasi program nyata yang mensejahterakan mereka. Dan Perusda tentu siap setiap saat dikritik oleh stakeholder mereka. Termasuk kritikan pedas dari DPRD Enrekang. (nur)
Perusda Enrekang
Alfian Siap Tinggalkan Perusda (1)
*Dari Modal Rp5,5 juta Hingga Aset Rp1,3 M
Fantastis, itulah kalimat yang dilontarkan sebahagian peserta yang hadir dalam presentase laporan pertanggungjawaban Dirut Perusda Mata Allo Enrekang (demisioner), Alfian Onneng. Pasalnya saat memulai jabatan sebagai Dirut Perusda pada 2004 lalu, modal yang dia miliki hanya Rp5,5 juta dari saku pribadi.
M NASRUN NUR, Enrekang
KURUN delapan tahun masa jabatannya sebagai Dirut Perusda Mata Allo Enrekang, Alfian mengaku banyak mendapat tantangan dan kecaman. Terutama harapan masyarakat agar perusahaan ini mendatangkan lebih banyak pendapatan asli daerah (PAD) bagi Enrekang. Beberapa kali ia melepas kacamatanya dan mengamati kertas neraca yang sedari awal dipersiapkan. Dengan data neraca yang dia pegang itu, dengan tegas dia menyatkan bahwa direksi perusda yang dia pimpin setidaknya sudah berbuat banyak untuk daerah. Diantaranya saat awal menjabat pada 27 Maret 2004 lalu, modal awal yang dia miliki hanya sebesar Rp5,5 juta. Itu pun dari saku pribadi.
Saat ini total aset yang disumbangkan ke Perusda per 31 Desember 2011 mencapai Rp1,3 miliar. Dana itu diperolah dari pengelolaan sejumlah kegiatan usaha yang menguntungkan. Periode sebelum dirinya, sebut Alfian bahkan hanya menyisakan saldo Rp8.400 di BPD Sulsel saat itu. Bahkan oleh pihak bank, rekening atas nama Perusda Mata Allo Enrekang saat itu sudah ditutup lantaran dianggap pailit. Untuk membayara biaya administrasi bank perbulan saja jumlah itu tidak cukup. "Dengan aset seperti itu, saya harus membuat neraca awal. Kami tidak menerima dana dari Pemkab makanya menggunakan uang senilai Rp5,5 juta," kata Alfian
Dia juga meluruskan bahwa dana awal yang mereka kelola bukanlah Rp5,5 miliar seperti yang diberitakan sejumlah media selama ini. Alfian sendiri mengaku bingung angka miliaran itu muncul dari mana sebab kondisi Perusda dan keuangan daerah sendiri menurutnya tidak mungkin mensubsidi Perusda dengan total dana sebesar itu. Apalagi dana awal yang menjadi kewajiban daerah sebesar Rp300 juta sampoai saat ini tidak pernah masuk ke rekening Perusda Mata Allo Enrekang. "Mungkin yang menyebut angka itu melihat kelebihan tiga nol dibelakangnya. Saya tidak tahu dari mana sumber itu," ujarnya.
Total aset yang dibukukan Perusda Mata Allo Enrekang sejak tahun 2004 itu bahkan belum termasuk program CSR (Coorporate Social Responsibility, red) yang telah digulirkan ke masyarakat. Beberapa aset dan sektor usaha yang masih dikelola sampai saat ini diantaranya Villa Bambapuang, Bus Sekolah maupun cicilan sepeda motor PNS Enrekang. Dia menyebut bahwa perusahaannya juga kerap menyumbang kegiatan sosial seperti untuk pembangunan masjid, kegiatan olahraga maupun kesehatan di Enrekang. "Tapi itu sudah kami halalkan makanya kami tidak masukkan dalam neraca keuntungan perusahaan. Itu tidak usah dicatat," ujarnya.
Namun karena besarnya kecaman masyarakat yang menuntut lebih banyak dari Perusda menurut Alfian menyababkan dirinya lebih baik mundur. Pengajuan mundur sendiri telah diajukan ke Bupati sejak setahun lalu. Namun karena pencapaian Perusda pula sehingga Bupati Enrekang, La Tinro La Tunrung terus mempertahankan Alfian hingga masa jabatannya akan berakhir pada 27 Februari mendatang. Dalam Perda No 1 Tahun 1986 yang dipedomani Perusda sendiri sampai saat ini menyebut masa jabatan direksi sampai empat tahun dan dapat diperpanjang tanpa batasan.
Asisten II Pemkab Enrekang, Djajadi Silamma yang memimpin laporan pertanggungjawaban Direksi Perusda lama siang kemarin memberi waktu yang luas bagi Alfian menuangkan harapan dan ide-idenya untuk Dirut Perusda yang baru kelak. Dia berharap kedepan perusahaan pelat merah ini makin berkibar dan mampu mengelola aset yang ada saat ini lebih maksimal. (nur)
*Dari Modal Rp5,5 juta Hingga Aset Rp1,3 M
Fantastis, itulah kalimat yang dilontarkan sebahagian peserta yang hadir dalam presentase laporan pertanggungjawaban Dirut Perusda Mata Allo Enrekang (demisioner), Alfian Onneng. Pasalnya saat memulai jabatan sebagai Dirut Perusda pada 2004 lalu, modal yang dia miliki hanya Rp5,5 juta dari saku pribadi.
M NASRUN NUR, Enrekang
KURUN delapan tahun masa jabatannya sebagai Dirut Perusda Mata Allo Enrekang, Alfian mengaku banyak mendapat tantangan dan kecaman. Terutama harapan masyarakat agar perusahaan ini mendatangkan lebih banyak pendapatan asli daerah (PAD) bagi Enrekang. Beberapa kali ia melepas kacamatanya dan mengamati kertas neraca yang sedari awal dipersiapkan. Dengan data neraca yang dia pegang itu, dengan tegas dia menyatkan bahwa direksi perusda yang dia pimpin setidaknya sudah berbuat banyak untuk daerah. Diantaranya saat awal menjabat pada 27 Maret 2004 lalu, modal awal yang dia miliki hanya sebesar Rp5,5 juta. Itu pun dari saku pribadi.
Saat ini total aset yang disumbangkan ke Perusda per 31 Desember 2011 mencapai Rp1,3 miliar. Dana itu diperolah dari pengelolaan sejumlah kegiatan usaha yang menguntungkan. Periode sebelum dirinya, sebut Alfian bahkan hanya menyisakan saldo Rp8.400 di BPD Sulsel saat itu. Bahkan oleh pihak bank, rekening atas nama Perusda Mata Allo Enrekang saat itu sudah ditutup lantaran dianggap pailit. Untuk membayara biaya administrasi bank perbulan saja jumlah itu tidak cukup. "Dengan aset seperti itu, saya harus membuat neraca awal. Kami tidak menerima dana dari Pemkab makanya menggunakan uang senilai Rp5,5 juta," kata Alfian
Dia juga meluruskan bahwa dana awal yang mereka kelola bukanlah Rp5,5 miliar seperti yang diberitakan sejumlah media selama ini. Alfian sendiri mengaku bingung angka miliaran itu muncul dari mana sebab kondisi Perusda dan keuangan daerah sendiri menurutnya tidak mungkin mensubsidi Perusda dengan total dana sebesar itu. Apalagi dana awal yang menjadi kewajiban daerah sebesar Rp300 juta sampoai saat ini tidak pernah masuk ke rekening Perusda Mata Allo Enrekang. "Mungkin yang menyebut angka itu melihat kelebihan tiga nol dibelakangnya. Saya tidak tahu dari mana sumber itu," ujarnya.
Total aset yang dibukukan Perusda Mata Allo Enrekang sejak tahun 2004 itu bahkan belum termasuk program CSR (Coorporate Social Responsibility, red) yang telah digulirkan ke masyarakat. Beberapa aset dan sektor usaha yang masih dikelola sampai saat ini diantaranya Villa Bambapuang, Bus Sekolah maupun cicilan sepeda motor PNS Enrekang. Dia menyebut bahwa perusahaannya juga kerap menyumbang kegiatan sosial seperti untuk pembangunan masjid, kegiatan olahraga maupun kesehatan di Enrekang. "Tapi itu sudah kami halalkan makanya kami tidak masukkan dalam neraca keuntungan perusahaan. Itu tidak usah dicatat," ujarnya.
Namun karena besarnya kecaman masyarakat yang menuntut lebih banyak dari Perusda menurut Alfian menyababkan dirinya lebih baik mundur. Pengajuan mundur sendiri telah diajukan ke Bupati sejak setahun lalu. Namun karena pencapaian Perusda pula sehingga Bupati Enrekang, La Tinro La Tunrung terus mempertahankan Alfian hingga masa jabatannya akan berakhir pada 27 Februari mendatang. Dalam Perda No 1 Tahun 1986 yang dipedomani Perusda sendiri sampai saat ini menyebut masa jabatan direksi sampai empat tahun dan dapat diperpanjang tanpa batasan.
Asisten II Pemkab Enrekang, Djajadi Silamma yang memimpin laporan pertanggungjawaban Direksi Perusda lama siang kemarin memberi waktu yang luas bagi Alfian menuangkan harapan dan ide-idenya untuk Dirut Perusda yang baru kelak. Dia berharap kedepan perusahaan pelat merah ini makin berkibar dan mampu mengelola aset yang ada saat ini lebih maksimal. (nur)
Langganan:
Komentar (Atom)